THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 18 November 2012

METODE PENULISAN DAN PENELITIAN HUKUM

Metode Penulisan Hukum METODE PENULISAN DAN PENELITIAN HUKUM • Relevansi Meningkatkan dan membangkitkan sifat keingin tahuan Mahasiswa • Tri Dharma Perguruan Tinggi 1. Pendidikan Proses belajar mengajar dibangku perkuliahan, perpustakaan dan tempat lain yang erat hubungannya dengan proses belajar 1. Penelitian Ketidak puasan yang telah diperoleh dari proses belajar karena ketidak sinkronnya antara teori dengan apa yang ada dalam kenyataan, dengan cara melakukan penelitian guna mencari dan menemukan jaaban dari persoalan-persoalan yang muncul. 1. Pengabdian kepada Masyarakat Dari hasil penelitian kita aplikasikan kedalam masyarakat, diantaranya dengan melakukan penyuluhan hokum, dan sebagainya. Tugas ILMU dan PENELITIAN 1. Deskripsi (menggambarkan) Ilmu dan Penelitian mempunyai tugas untuk menggambarkan secra jelas dan cermat mengenai hal-hal yang dipersoalkan. 1. Eksplanasi (menerangkan) Ilmu dan Penelitian bertugas untuk menerangkan kondisi-kondisi yang mendasasri terjadinya peristiwa atau persoalan 1. Menyusun Teori (mengembangkan) Ilmu dan Penelitian bertugas membuat atau mencari dan merumuskan hukum-hukum atau tata mengenai hubungan antara kondisi yang satu dengan kondisi yang lain atau peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain. 1. Estimasi Ilmu dan Penelitian bertugas membuat ramalan dan proyeksi mengenai peristiwa-peristiwa yang kemungkinan akan terjadi atau akan timbul dimasa yang akan mendatang. 1. Penanggulangan Ilmu dan Penelitian bertugas untuk melakukan tindakan-tindakan guna mengendalikan peristiwa atau persoalan tertentu. Menemukan KEBENARAN 1. Pendekatan Non Ilmiah ¶ Akal sehat (logika) Yaitu suatu tindakan atau serangkai konsep yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan. ¶ Prasangka Yaitu pencapaian pengetahuan secara akal sehat yang diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukan hal tersebut. ¶ Intuisi (pendekatan a priori) Yaitu orang yang menentukan pendapatnya mengenai sesuatu berdasarkan atas pengetahuan yang langsung atau didapat dengan cepat melalui proses yang tidak disadari atau yang tidak dipikirkan terlebih dahulu. ¶ Penemuan coba-coba Yaitu penemuan yang diperoleh tanpa kepastian akan diperolehnya suatu kondisi tertentu akan dipecahkan suatu masalah. Pada umunya merupakan serangkaian percobaan tanpa kesadaran pemecahan permasalahan tertentu, pemecahan permasalahan terjadi secara kebetulan setelah terjadi serangkaian usaha. Penemuan coba-coba ini tidak efisien dan tidak terkontrol. ¶ Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis. Otoritas ilmiah yaitu orang-orang yang biasanya telah memperoleh atau menempuh pendidikan formal tertinggi atau yang mempunyai pengalaman kerja ilmiah dalam suatu bidang yang cukup. 1. Pendekatan Ilmuah ¶ Metode Ilmiah Yaitu metode yang didasari dengan teori-teori tertentu dimana teori tadi berkembang melalui penelitian yang sistematis dan terkontrol berdasarkan data empiris dan tentunya teori tadi dapat diuji kebenarannya secara obyektif. Hasrat Ingin Tahu (animal rationalitas) Untuk mencari kebenaran yang universal atau diakui oleh masyarakat secara umum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Koheren 2. Koresponden 3. Pragmatis Hasrat ingun tahu bias didapat secara : 1. Secara Ilmiah Dapat diperoleh dengan cara penelitian yang disertai dengan metode-metode tertentu dengan teori-teori yang berkaitan. Dan tentunya teori tadi akan berguna, bermanfaat serta berkembang apabila disusun secara sistematis dan terkontrol. 1. Secara Non ilmiah Dapat dilakukan dengan cara : - Akal sehat (logika) - Prasangka - Intuisi (pendekatan a priori) - Penemuan coba-coba - Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis. PENELITIAN HUKUM NO METODE NORMATIF EMPIRIS atau SOSIOLOGIS 1 Pendekatan Normatif Empiris 2 Kerangka ¶ Peraturan perundang undangan ¶ Pembuktian melalui pasal ¶ Teori-teori Sosiologi Hukum ¶ Pembuktian melalui masyarakat 3 Sumber Data Data Skunder Data Primer 4 Analisis ¶ Logis normatif ¶ Silogisme ¶ Kualitatif ¶ Kuantitatif Penjelasan Tabel. • Penelitian Normatif yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan • Penelitian Empiris yaitu penelitian terhadap pengalaman yang terjadi dalam masyarakat. • Pendekatan yaitu awal mula atau langkah-langkah sebelum melakukan penelitian • Data skunder yaitu data data yang diperoleh dari kepustakaan • Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dalam kehidupan masyarakat dengan cara wawancara, interview dan sebagainya • Analisis - Logis normatif yaitu berdasarkan logika dan peraturan perundang-undangan. - Silogisme yaitu menarik kesimpulan yang sudah ada. - Kualitatif yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. - Kuantitatif yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk angka. DATA Yaitu fakta yang relevan atau aktual yang diperoleh untuk membuktikan atau menguji kebenaran atau ketidak benaran suatu masalah yang menjadi obyek penelitian. v Data menurut sumbernya : 1. Data primer Yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian Contoh : - Obsevasi - Wawancara - Kuisioner (kuisioner terbuka atau tertutup, face to face) - Sample, dan sebagainya. 1. Data skunder Yaitu data yang diperoleh melalui study kepustakaan. Data skunder dibidang Hukum : • Bahan hukum primer Data yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat Contoh : - Pancasila - UUD 1945 - Traktat - Doktrin - Yurisprudensi - Adat dan kebiasan • Bahan hukum skunder Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hokum primer dan dapat membantu serta menganalisis. Contoh : - RUU - Buku-buku para Sarjana - Hasil penelitian - Jurnal - Makalah - Dan sebagainya • Bahan hukum tersier Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hokum primer dan skunder. Contoh : Koran, kliping, majalah, dan sebagainya. v Data menurut sifatnya 1. Data Kualitatif Yaitu data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. Contoh : Berdasarkan penelitian BBM mengalami kenaikan harga 1. Data Kuantitatif Yaitu data terbentuk secara nomor bilangan yang diperoleh dari hubungan secara langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk angka. Contoh : Berdasarkan penelitian BBM mengalami kenaikan 30 %. v Data menurut peranan 1. Data utama Yaitu data yang langsung berhubungan dengan masalah penelitian. Contoh : Wawancara 1. Data tambahan Yaitu data yang merupakan data pelengkap. Contoh : Observasi. Macam-macam Penelitian HUKUM NORMATIF 1. Penelitian Inventaris Hukum Positif Yaitu merupakan kegiatan mengkritisi yang bersifat mendasar untuk melakukan penelitian hukum dari tipe-tipe yang lain. Ada 3 (tiga) kegiatan pokok dalam melakukan penelitian inventrisasi hukum positif tersebut, yaitu : 1. Penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukan sebagai norma hukum positif dan norma yang dianggap norma sosial yang bukan hukum. 2. Mengumpulkan norma-norma yang sudah diidentifikasi sebagai norma hukum tersebut. 3. Dilakukan pengorganisasian norma-norma yang sudah di identifikasikan dan di kumpulkan kedalam suatu sistem yang menyeluruh (kompherensif). Ada 3 (tiga) konsep pokok dalam melakukan kriteria identifikasi : - Persepsi Legisme Positifistis Yaitu bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat yang berwenang. Berdasarkan konsep tersebut pada kegiatan berikutnya hanya dikumpulkan hukum perundang-undangan atau peraturan-peraturan tertulis saja. - Konsep mencerminkan hokum dengan kehidupan masyarakat. Konsep yang menekankan pentingnya norma dan arti hukum meskipun tidak tertulis apabila norma itu secara konkrit dipatuhi oleh anggota masyarakat setempat maka norma tersebut harus dianggap sebagai hukum. - Konsepsi bahwa hukum identik dengan putusan hakim (pejabat yang berwenang) dan kepala adat. 1. Penelitian Azas-azas Hukum Penelitian yang dilakukan untuk menemukan azas-azas hukum atau rechtbeginselen yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis. Azas hukum berguna untuk memberikan penilaian secara etis terhadap hukum. Azas Hukum bisa berupa : ¶ Azas Konstitutif yaitu azas yang harus ada dalam kehidupan suatu sistem hukum atau disebut azas hukum umum. ¶ Azas Regulatif yaitu azas yang diperlukan untuk dapat berprosesnya suatu sistem hukum tersebut. • Cara membuat Azas Hukum : 1. Tentukan pasal-pasal yang akan dijadikan patokan 2. Menyusun sistematika dari pasal-pasal tersebut dengan menghasilkan klasifikasi tertentu. 3. Menganalisis pasal-pasal tersebut dengan mempergunakan asas-asas hukum yang ada. 4. Menyusun suatu konstruksi untuk menemukan asas hukum yang belum ada. • Cara menyusun Azas Hukum : - Mencakup semua bahan hokum yang diteliti - Konsisten atau tidak melenceng atau tidak menympang - Memenuhi syarat estetis atau tidak bertentangan dengan norma kesusilaan - Sederhana dalam perumusannya. 1. Penelitian In Concreto (kongkrit) Penelitian yang dilakukan untuk menemukan dari suatu perkara yang kongkrit. Peneliian ini juga merupakan usaha untuk menemukan apakah hukumnya sesuai diterapkan secara in concreto guna menyelesaikan suatu perkara hukum dan dimanakah bunyi peraturan hukum dapat ditemukan. Ciri-ciri penelitian ini yaitu ; - Diterapkan oleh seorang Hakim - Harus ada inventarisasi hukum terlebih dahulu. 1. Peneltian terhadap Sistematika Hukum. Penelitian yang dilakukan terhadap sistematika peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1. Penelitian terhadap Sinkronisasi Vertikal dan Horizontal Penelitian Sinkronisasi Vertikal : Penelitian terhadap hirarki perundang-undangan Penelitian Sinkronisasi Horizontal : Penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang yang mempunyai hubungan fungsional untuk mencari sejauh mana perundang-undangan itu konsisten 1. Penelitian Sejarah Hukum Penelitian yang berusaha untuk mengadakan identifikasi terhadap tahap-tahap perkembangan hukum yang dapat dipersempit ruang lingkupnya menjadi sejarah perundang-undangan. Penelitian ini beracuan pada : - Landasan Filosofis - Landasan Yuridis - Landasan Politis 1. Penelitian Perbandingan Hukum. Penelitian yang dilakukan untuk membandingkan dua hal atau lebih subsistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berlaku secara lintas dengan berbagai sistematika beberapa Negara dengan membandingkan kedua subsistem tersebut maka dapat ditemukan unsur-unsur perasaan serta perbedaan kedua sistem tersebut. Sifat PENELITIAN 1. Eksploratoris (penelitian terhadap data awal) Penelitian yang dilakukan terhadap suatu gejala atau peristiwa yang belum mempunyai suatu pengetahuan atau sumber data atau bahan. Ciri : Selalu diawali dengan kata “Inventarisasi ….” 1. Deskriptif (penelitian sebab akibat) Penelitian yang dimaksudkan untuk memebrikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan yang menjadi obyek penelitian sehingga akan mempertegas hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau membuat teori baru. Ciri : - Selalu diawali dengan kata “Analisis ….” - Sudah ada hipotesa 1. Eksplanatoris (membuktikan) Penelitian yang dilakukan untuk menguji hipotesa terhadap suatu masalah yang sudah lengkap. Ciri : - Selalu diawali dengan kata “Efektifitas ….” - Sudah ada kesimpulan Syarat membuat TOPIK 1. Manageble topic Topic yang dipilih oleh peneliti harus terjangkau dengan mempertimbangkan pengetahuan, kecakapan dan kemampuan. 1. Obtainable topic Topic yang dipilih oleh peneliti harus mempertimbangkan bahan kepustakaan dan teknik pengumpulan data. 1. Signifinance topic Topic yang dipilih oleh peneliti harus diperhatikan secara signifikan maksudnya topic yang diambil cukup penting untuk diambil dan dapat disumbangkan untuk penelitian. 1. Intersted topic Topic yang dipilih oleh peneliti harus menarik minat peneliti atau pembaca. Syarat membuat Judul Penelitian - Harus menggambarkan permasalahan yang diteliti - Harus mengandung minimum dua variable - Harus menggambarkan tipe atau sifat penelitian Bentuk penlitian • Diagnostic Penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan keterangan mengenai terjadinya suatu peristiwa • Deskriptif Penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan saran-saran apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelasaikan masalah yang terjadi. • Evaluatif Penelitian dilakukan bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap program-program yang sudah dilakukan. Tujuan penelitian • Fact finding Penelitian yang bertujuan untuk menemukan fakta saja. • Problem finding Penelitian yang bertujuan untuk menemukan masalah. • Problem identification Penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi masalah. Penerapan penelitian • Penelitian murni Bertujuan untuk pengembangan ilmu itu sendiri atau bersifat teori maupun untuk perkembangan metode penelitian. • Penelitian terapan Bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul atau yang ada dalam masyarakat. Pemikiran - Deduktif Yaitu cara pengambilan kesimpulan yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus. - Induktif Yaitu cara pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus ke hal-hal yang bersifat umum. Sistematika penulisan Tugas Akhir - Legal Memorandum Penelitian yang dilakukan terhadap peristiwa atau masalah-masalah hukum yang belum mempunyai kekuatan hukum yang inkrah. - Study Kasus Penelitian yang dilakukan terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai ketetapan hukum. - Skripsi Penelitian yang dilakukan terhadap peristiwa atau masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat. PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI • Pengertian Skripsi adalah suatu karya tulis ilmiah berupa hasil penelitian yang membahas masalah dalam bidang hukum. • Sistematika Halaman Judul Halaman Pernyataan Keaslian Halaman Pengesahan/persetujuan Halaman Abstrak Halaman Kata Pengantar Halaman Daftar Isi Halaman Daftar Lampiran Halaman Daftar Singkatan Halaman Daftar Tabel (bila ada) BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latarbelakang Masalah Bagian ini berisi uraian mengenai masalah hukum yang menarik minat peneliti 1. Identifikasi Masalah Disusun dalam bentuk pertanyaan atau kalimat pertanyaan yang menunjukkan permasalahan yang akan diteliti. 1. Tujuan Penelitian Dalam bagian ini diuraikan tujuan yang ingin dicapai oleh enulis terhadap masalah hukum yang dipilih sesuai dengan identifikasi masalah. 1. Kegunaan Penelitian Penelitianbyang dilakukan hendaknya berguna baik secara teoritis dan praktis 1. Kerangka Pemikiran Berisi uraian tentang teori yang akan digunakan sebagai ladasan untuk penelitian yang relevan dengan masalah hukum yang diteliti. 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan berupa pendekatan yuridis normative dengan spesifikasi deskriptif. 1. Tahap penelitian dan bahan penelitian Tahap penelitian terdiri atas penelitian kepustakaan dalam upaya mencari data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer. 1. Analisis data Analisis data yang dilakukan dengan cara pendekatan kualitatif yaitu analisis yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. 1. Sistematika Penulisan Berisi uraian mengenai susunan tiap-tiap bab secara teratur untuk memudahkan penulisan. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Berisi uraian teori, konsep, asas, norma, doktrin yang relevan dengan masalah hukum yang diteliti baik dari buku,jurnal ilmiah, yurisprudensi maupun perundang-undangan dan sumber data lainnya. BAB 3 OBYEK PENELITIAN Berisi uraian mengenai gambaran singkat obyek penelitian yang diuraikan secara deskriptif BAB 4 PEMBAHASAN Bagian ini memuat analisis atau pembahasan terhadap identifikasi masalah BAB 5 PENUTUP Bagian ini memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan jawaban atas identifikasi masalah. Saran merupakan usulan yang menyangkut aspek operasional onkret dan praktis. Daftar Pustaka Lampiran Daftar Riwayat Hidup PEDOMAN PENULISAN LEGAL MEMORANDUM • Pengertian Memorandum hukum (legal memorandum) adalah penulisan tugas akhir yang khusus disusun dalam bentuk pendapat hukum (legal opinion) yang berisikan nasehat atau rekomendasi hukum (legal advice) dan pemecahan masalah hukum (problem solving). Memorandum hukum dapat digunakan untuk mengkaji peristiwa hukum yang belum menjadi kasus di pengadilan atau terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. • Sistematika Halaman Judul Halaman Pernyataan Keaslian Halaman Pengesahan/persetujuan Halaman Memorandum Halaman Abstrak Halaman Kata Pengantar Halaman Daftar Isi BAB 1. KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM 1. Kasus Posisi Kasus Posisi berisi uraian tentang pihak-pihak yang terkait peristiwa hukum atau perbuatan hukum atau hubungan hukum yang terjadi yang menjadi objek penelitian. 1. Permasalahan Hukum Permasalahan hukum disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan atau kalimat pernyataan yang menunjukan permasalahan yang akan diteliti berdasarkan kasus posisi. BAB 2. PEMERIKSAAN DOKUMEN Berisi uraian dokumen-dokumen hukum yang terkait dan relevan untuk diteliti sesuai dengan masalah hukum yang dikaji. Pada umumnya dokumen hukum yang dimaksud berupa bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan) dan bahan hukum sekunder (rancangan peraturan perundang-undangan, kontrak dan putusan pengadilan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap). BAB 3. TINJAUAN TEORI Berisi uraian asas, teori, doktrin, konsep yang relevan dengan masalah hukum yang diteliti baik dari buku, jurnal ilmiah dan sumber data lainnya. BAB 4. PENDAPAT HUKUM Bagian ini memuat analisis atau pembahasan terhadap permasalahan hukum yang diteliti. BAB 5. PENUTUP Bagian ini memuat kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan merupakan jawaban atas permasalahan hukum yang diteliti. Rekomendasi merupakan usulan yang menyangkut aspek operasional, konkret dan praktis terkait dengan kasus yang diteliti. Halaman Daftar Pustaka Halaman Lampiran Halaman Daftar Riwayat Hidup PEDOMAN PENULISAN STUDI KASUS • Pengertian Studi kasus adalah penulisan tugas akhir untuk menyusun analisis terhadap suatu putusan pengadilan yang tel;ah memiliki kekuatan hukum yang tetap. • Sistematika Halaman Judul Halaman Pernyataan Keaslian Halaman Pengesahan/persetujuan Halaman Abstrak Halaman Kata Pengantar Halaman Daftar Isi Halaman Daftar Lampiran BAB 1. LATARBELAKANG PEMILIHAN KASUS DAN KASUS POSISI 1. Latarbelakang Pemilihan Kasus Berisi uraian tentang latarbelakang mengapa kasus tersebut dipilih. Hendaknya kasus atau putusan yang menjadi obyek kajian adalah yang menarik, misalnya : penemuan hukum baru, penyimpangan terhadap asas hukum yang ada, terdapat kesalahan formal dan lain sebagainya. 1. Kasus Posisi Kasus Posisi berisi uraian tentang pihak-pihak yang terkait peristiwa hukum atau perbuatan hukum atau hubungan hukum yang terjadi yang menjadi objek penelitian. BAB 2. MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK 1. Masalah Hukum Permasalahan hukum disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan atau kalimat pernyataan yang menunjukan permasalahan yang akan diteliti berdasarkan kasus posisi. 1. Tinjauan teoritik Berisi uraian asas, teori, doktrin, konsep yang relevan dengan masalah hukum yang diteliti baik dari buku, jurnal ilmiah dan sumber data lainnya. BAB 3. RINGKASAN PERTIMBANGAN HUKUM DAN PUTUSAN 1. Ringkasan Pertimbangan Hukum Berisi uraian tentang ringkasan pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam menetapkan putusan 1. Putusan Berisi uraian tentang putusan hakim berdasarkan pertimbangan hukumnya. Bab 4. ANALISIS KASUS Bagian ini memuat analisis atau pembahasan terhadap permasalahan hukum yang diteliti erutama terhadap pertimbangan hukum dan putusan hakim dari kasus tersebut. Bab 5. KESIMPULAN Bagian ini memuat kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan hukum yang diteliti. Halaman Daftar Pustaka Halaman Lampiran Halaman Daftar Riwayat Hidup Tata Cara Dan Teknik Penulisan 1. 1. Ukuran Kertas, Spasi Penulisan, Bentuk Dan Ukuran Huruf 1. a. Ukuran Kertas Kertas yang digunakan adalah kertas A4. Untuk penulisan dalam bentuk konsep (masih perbaikan) tidak ditentukan ukuran berat kertas, sedangkan untuk penulisan yang sudah jadi (siap di jilid) digunakan kertas ukuran 80 gram. Ukuran batas-batas lay out (page set up) adalah, untuk margin kiri dan atas 4 (empat) centimeter dan untuk margin kanan dan bawah 3 (tiga) centimeter 1. b. Spasi Penulisan Ukuran spasi penulisan adalah sebagai berikut : 1) Penulisan uraian biasa dan kutipan yang jumlah barisnya kurang dari 4 (empat) baris menggunakan ukuran 2 (dua) spasi. 2) Penulisan uraian biasa dan kutipan yang jumlah barisnya lebih dari 4 (empat) barismenggunakan ukuran 1 (satu) spasi. 3) Penulisan abstrak menggunakan ukuran 1 (satu) spasi. 4) Penulisan footnote menggunakan ukuran 1 (satu) spasi. 1. c. Bentuk Dan Ukuran Huruf Bentuk huruf yang digunakan adalah arial dengan ukuran 12 (dua belas), judul bab ditulis dalam huruf capital (UPPERCASE) dan ditebalkan (bold). Sedangkan sub bab ditulis secara (Title Case) dengan format ditebalkan (bold). Untuk kutipan ditulis dengan huruf arial ukuran 12 (dua belas). Sedangkan untuk footnote huruf yang digunakan adalah arial dengan ukuran 10 (sepuluh). 1. 2. Abstrak Abstrak adalah deskripsi singka atau kondensasi suatu karangan yang memuat ringkasan kasus posisi dan tujuan penelitian, metode penelitian yang digunakan serta ringkasan hasil hasil penelitian. 1. 3. Tata Cara Pengutipan Sistem pengutipan yang digunakan adalah sistem footnote bukan running note atau endnote. Footnote adalah catatan kaki halaman untuk menyatakan sumber suatu kutipan, buah pikiran, fakta-fakta atau ikhtisar. Footnote juga dapat berupa komentar atas suatu teks yang dikemukakan. Nomor footnote harus diberi jarak dengan garis margin teks sebelah kiri. Jika footnote lebih dari satu baris, maka baris kedua dan seterusnya dimulai pada margin teks. Penulisan footnote dengan urutan sebagai berikut : 1. a. Sumber Buku Penullisannya sebagai berikut : nama pengarang (tanpa gelar), judul buku (cetak miring), nama penerbit, kota terbit, tahun terbitan, halaman yang dikutif (disingkat : hlm). Dalam pencantuman nama pengarang jika pengarangnya sbanyak 3 (tiga) orang atau kurang maka nama pengarang ditulis seluruhnya. Sedangkan jika pengarangnya lebih dari 3 (tiga) orang maka cukup dicantumkan nama pengarang pertama dan dibelakangnya ditulis dalam kurung kata-kata “et al” (et al), singkatan dari et alii yang artinya “dengan orang lain”. Untuk kumpulan karangan, yang ditulis cukup nama editornya saja dan dibelakangnya ditulis dalam kurung kata-kata “ed” (ed). Bila bukunya merupakan terjemahan, nama pengarang asli harus dicantumkan pertama kali, kemudian dibelakangnya ditulis nama penerjemahnya. 1. b. Sumber Artikel Penulisannya sebagai berikut : 1) Artikel dalam majalah, Koran, jurnal : nama penulis (tanpa gelar), “judul artikel” (dalam tanda kutif), nama majalah/jurnal (cetak miring), nama penerbit, kota penerbit, tahun terbitan, halam yang dikutif (disingkat : hlm). 2) Artikel dalam seminar: nama penulis (tanpa gelar), “judul artikel (dalam tanda kutif), nama seminar (cetak miring), tempat tahun, halaman yang dikutif (disingkat : hlm). 3) Artikel dari internet : nama penulis, “judul artikel” (dalam tanda kutif), alamat web site, waktu men download (tanggal dan jam). 1. 4. Beberapa Istilah Yang Sering Digunakan Dalam Penulisan Footnote. 1. a. Pemakaian Ibid Ibid kependekan dari ibidem yang artinya “pada tepat yang sama”, dipakai apabila suatu kutipan diambil dari sumber yang sama dengan yang mendahuluinya, yang tidak disela oleh sumber atau footnote lain. 1. b. Pemakaian Op Cit Op Cit singkatan dari opera citato yang artinya “dalam karangan yang telah disebut”, dipakai untuk menunjuk pada suatu buku atau sumber yang telah disebut sebelumnya lengkap pada halaman lain dan telah diselingi oleh sumber lain. Apabila nama pengarang sama dan buku yang dikutif lebih dari satu, untuk menghindari kesalahan sebaiknya disebutkan sebagian dari judul buku atau sumber tersebut. 1. c. Pemakaian Loc Cit Loc Cit singkatan dari loco citato yang artinya “pada tempat yang telah disebut”, digunakan untuk menunjuk kepada halaman yang sama atau persoalan yang sama dari suatu sumber yang telah disebut tetapi telah diselingi oleh sumber lain. Contoh pengutifan: 1) Robert dan Donald. Hukum Pidana Indonesia, Armico, Bandung, 1990, hlm. 23. 2) Ibid, hlm. 26. 3) R. Soepomo, Bab-Bab Tentang hukum Adat, Djambatan, Jakarta, 1958, hlm. 23. 4) Op. Cit, hlm. 30. 1. 5. Daftar Pustaka Dalam daftar pustaka dicantukan secara lengkap kepustakaan yang dipergunakan baik dari bahan hukum primer seperti misalnya peraturan perundang-undangan atau dari bahan hukum sekunder misalnya rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, jurnal ilmiah, seri penerbitan sains, juga dapat dari bahan hukum tersier misalnya bibliografi, indeks kumulatif dan lain-lain. Sumber yang digunakan disusun secara sistematis sebagaimana dalam penulisan footnote. Pennulisan daftar pustaka sebagai berikut : 1. Disusun secara alfabethis tanpa menggunakan nomor urut. 2. Tanopa menggunakan gelar akademik. 3. Untuk nama penulis asing ditulis nama keluarga (family) dahulu baru nama kecilnya (dibalik). 4. Untuk nama penulis Indonesia yang diketahui marganya ditulis seperti penulis asing. 5. Untuk nama penulis Indonesia yang tidak memiliki nama marga atau famili ditulis apa adanya dengan tidak dbalik. 6. Huruf yang digunakan adalah arial ukuran 12 (dua belas). 7. Jika suatu referensi dalam daftar pustaka terdiri lebih dari satu baris, maka baris kedua dan seterusnya dimulai penulisannya agak menjorok dengan ukuran jaraknya seperti jarak dalam ukuran alinea atau paragraph. 8. Antara satu referensi dengan referensi lain dipisahkan satu spasi. Contoh penulisan daftar pustaka : Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. A. Tresna Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2005. Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 1996. 1. 6. Pedoman Bab Dan Sub-Sub Bab Penomoran bab dan sub-sub bab dapat dilakukan dengan mengacu pada ketentuan sebagai berikut : A. 1. a. 1). a). (1). (a).

Rabu, 18 Juli 2012

Konsep Panitia LDKM FH-UHT

Silakan masukkan konsep dari sie panitia masing-masing..

Selasa, 17 April 2012

Rangkuman Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Latar Belakang Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti hanya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninnya. Pendaftaran tanah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.   Tujuan Pendaftaran Tanah: Pendaftaran tanah bertujuan untuk (i) memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, (ii) untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Pemerintah agar dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan-perbuatan hukum sehubungan dengan tanah dan rumah susun, dan (iii) untuk dapat terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, (���BPN���), dimana pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan (���Kantor Pertanahan���). Dalam menjalankan tugasnya, Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara Agraria. Obyek dari pendaftaran tanah meliputi: 1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai; 2. tanah hak pengelolaan; 3. tanah wakaf; 4. hak milik atas satuan rumah susun; 5. hak tanggungan; 6. tanah Negara. Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi (i) pendaftaran tanah untuk pertama kali, dan (ii) pemeliharaan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dilakukan dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik, melalui kegiatan pengukuran dan pemetaan meliputi (i) pembuatan peta dasar pendaftaran, (ii) penetapan batas bidang-bidang tanah, (iii) pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, (iv) pembuatan daftar tanah, dan (v) pembuatan surat ukur. Pendaftaran hak atas tanah maupun hak milik atas satuan rumah susun dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (i) pembuktian hak baru, dan (ii) pembuktian hak lama. Pembuktian atas tanah baru dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang memberikan hak menurut ketentuan yang berlaku, dan akta asli Pejabat Pembuat Akta Tanah (���PPAT���) yang memuat pemberian hak tersebut. Pemberian hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan berdasarkan akta pemisahan, yang menunjukkan satuan yang dimiliki, dan proposional atas kepemilikan rumah susun tersebut. Pendaftaran hak lama dibuktikan dengan alat ��� alat bukti berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau keterangan dari orang yang bersangkutan, yang kadar kebenarannya ditentukan oleh instansi yang berwenang.   Pembukuan Hak dan Penerbitan Sertifikat Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis, yaitu keterangan atas status hukum tanah atau rumah susun, dan data fisik, yaitu keterangan mengenai batas, bidang, dan luas bidang tanah atau satuan rumah susun. Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang ada di dalam buku tanah. Penerbitan sertifikat tersebut bertujuan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Sertifikat adalah tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama data fisik dan yuridis adalah data yang benar. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah Pemegang hak berkewajiban untuk mendaftarkan tanah, apabila terjadi perubahan atas data fisik atau yuridisi atas tanah. Misalnya apabila dilakukan pemisahan, pemecahan, atau penggabungan bidang-bidang tanah, dan juga pembebanan atau pemindahan hak atas sebidang tanah. Pemindahan hak hanya bisa dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat di depan PPAT, dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Kemudian, akta mengenai pemindahan hak tersebut dikirim selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya akta tersebut kepada Kantor Pertanahan.

Kamis, 12 April 2012

Catatan @riyanto: Kwik : BI Lakukan Pembiaran Sistemik

Catatan @riyanto: Kwik : BI Lakukan Pembiaran Sistemik

Catatan @riyanto: Pengembalian Uang Negara Bakal Terkendala Bukti

Catatan @riyanto: Pengembalian Uang Negara Bakal Terkendala Bukti

Catatan @riyanto: Suka Mainkan Putusan, Hakim Nakal Disadap

Catatan @riyanto: Suka Mainkan Putusan, Hakim Nakal Disadap

Catatan @riyanto: Budaya Hukum Diabaikan dalam Kasus Lapindo

Catatan @riyanto: Budaya Hukum Diabaikan dalam Kasus Lapindo

Selasa, 10 April 2012

DINAMIKA KONTEMPORER PRAKTEK HUKUMAN MATI DI INDONESIA

KontraS 2008 1 I. Perkembangan Terkini Praktek Hukuman Mati di Indonesia Isu hukuman mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil keb ijakan. Kontroversi hukuman mati juga eksis baik itu di panggung internasional maupun nasional. Hukum gantung terhadap Saddam Hussein di Irak memicu debat di fora internasional. Di Indonesia kontroversi ini juga memanas ketika eksekusi Tibo Cs dilakukan dan rencana eksekusi terhadap Amrozi Cs. Di tengah kecenderungan global akan moratorium hukuman mati, di Indonesia justru praktek ini makin lazim diterapkan. Tahun ini saja sebanyak 6 orang telah dihukum mati. Presiden menolak grasi terhadap 39 terpidana narkotika. Kejaksaan Agung juga telah menyatakan akan segera mengeksekusi mati beberapa orang terpidana mati. Paling tidak selama empat tahun berturut-turut telah dilaksanakan eksekusi mati terhadap para narapidana setelah dalam kurun waktu yang lama tidak mempraktekkannya. Momentum pembukanya terjadi pada tahun 2004 setelah Indonesia cukup lama tidak melakukan eksekusi mati. 1 Pada tahun 2004 terdapat 3 terpidana mati yang sudah dieksekusi, yaitu: Ayodya Prasad Chaubey (warga India), dieksekusi di Sumatra Utara pada tanggal Agustus 2004 untuk kasus narkoba, Saelow Prasad (India) di untuk kasus yang sama Sumatra Utara, dan Namsong Sirilak (Thailand) di Sumatra Utara pada tanggal Oktobe r 2004 untuk kasus narkoba. Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 di Jawa Timur, Astin i –terpidana hukuman mati karena kasus pembunuhan- dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak -6 di antaranya diisi peluru tajam- Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter 2 . Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi pada tanggal Juli 2004 3 . Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi di Jambi pada tanggal Mei 2005 4 , untuk kasus pembunuhan. Praktek eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006 dan kali ini efeknya jauh lebih buruk. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat kontroversial 5 mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip fair trial . Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan. Di tahun 2007 lalu juga masih terjadi eksekusi mati terhadap terpidana Ayub Bulubili di Kalimantan Tengah. Praktek eksekusi di atas menegaskan bahwa Indonesia masih bersikap teguh untuk mempertahankan kebijakan hukuman mati. Sementara itu daftar terpidana mati yang terancam dieksekusi masih cukup panjang 6 . 1 Eksekusi mati terakhir sebelum ini terjadi di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2001 terhadap Gerson Pande, Fredrik Soru, Dance Soru. Semuanya untuk kasus pembunuhan berencana. 2 Dalam Posisi Duduk, Astini Dieksekusi 12 Penembak, Media Indonesia, 21 Maret 2005. 3 Astini Dieksekusi 12 Penembak Brimob Polda Jatim, Republika, 21 Maret 2005. 4 Turmudi Dieksekusi di Depan Regu Tembak, Kompas, 15 Mei 2005. 5 Ketiganya divonis sebagai dalang kerusuhan sosial di Poso. Dalam proses persidangannya, ketiganya menyebut 16 nama lain yang diduga punya peran strategis dalam kerusuhan Poso. Namun tidak ada tindak lanjut terhadap ke-16 nama tersebut. Lihat juga pembahasan tentang kasus ini pada Laporan HAM 2005 KontraS; Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap, KontraS, Jakarta, 2006. 6 Tidak ada kepastian waktu kapan seseorang akan dieksekusi mati setelah ia mendapat vonis dengan kekuatan hukum yang final. Salah satu dari terpidana mati, Bahar bin Matar, misalnya sudah menunggu eksekusi 34 tahun sejak grasinya ditolak (1972). Untuk data rinci soal mereka yang sudah dieksekusi dan 2 Di tingkatan perundang-undangan, Indonesia memiliki paling tidak terdapat sebelas undang-undang (termasuk KUHP) yang mencantumkan pidana mati sebagai hukuman. Selain itu hukuman mati juga masih dicantumkan dalam Rancangan Undang-Unda ng/RUU Intelejen, Rahasia Negara, dan RUU KUHP. Di berbagai aturan perundang-undangan tersebut cakupan penggunaan hukuman mati di Indonesia bisa dibilang sangat luas dan tidak sesuai dengan kecenderungan norma internasional yang berlaku sa at ini. Hukuman mati masih diterapkan untuk kejahatan-kejahatan yang tidak melibatkan kekerasan fisik yang brutal seperti kejahatan ekonomi (korupsi), narkotika, kejahatan politik, dan sebagainya. Langkah mundur lainnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi dalam judicial review UU Anti Narkotika yang menyatakan bahwa hukuman mati bersifat konstitusional meskipun Pasal 28I ayat (1) UUD ’45 (Amandemen Kedua) menyatakan bahwa hak hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Perundang-undangan RI yang Memiliki Ancaman Pidana Hukuman Mati No Judul UU Keterangan Makar Mengajak atau menghasut negara lain untuk menyerang RI Melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI Membunuh kepala negara sahabat Pembunuhan berencana Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati Pembajakan di laut, di tepi laut, di sungai sehingga ada orang yang mati Menganjurkan pemberontakan atau huru hara pada buruh terhadap perusahaan pertahanan negara waktu perang Melakukan penipuan dalam menyerahkan barang-barang di saat perang 1 Kitab UU Hukum Pidana Pemerasan dengan kekerasan 2 UU Darurat No. 12 Tahun 1951 Senjata api 3 Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman mati terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan. 4 Perpu No. 21 Tahun 1959 Memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi 5 UU No. 11/PNPS/1963 Pemberantasan kegiatan subversif mereka terpidana mati lihat laporan Kontras, Praktek Hukuman Mati di Indonesia, Oktober 2007. www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf. 3 6 UU No. 4 Tahun 1976 Peruba han dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan 7 UU No. 5 Tahun 1997 Psikotropika 8 UU No. 22 Tahun 1997 Narkotika 9 UU No. 31 Tahun 1999 Pemberantasan Korupsi 10 UU No. 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM 11 UU No. 15 Tahun 2003 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Sumber: data olahan Litbang KontraS. Indonesia merupakan negara pihak Kovenan Sipol pada Februari 2006, namun hingga kini belum juga mengajukan laporan awal kepada Komite HAM. Dalam pembahasan soal laporan tersebut, tidak tertutup kemungkinan Komite HAM akan mempersoalkan praktek hukuman mati di Indonesia mengingat baru dikeluarkannya reso lusi Majelis Umum PBB soal moratorium. Sebelumnya pihak ada pihak luar, Uni Eropa yang mencoba melobby Pemerintah RI untuk paling tidak melakukan moratorium dalam waktu tertentu. Namun, Pemerintah RI yang diwakili oleh Wapres Jusuf Kalla tegas menolak usul Uni Eropa agar Indonesia menghapuskan pidana mati pada rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP yang baru . Usul Uni Eropa tersebut disampaikan oleh Dubes Finlandia, Markku Nilnloja, Dubes Jerman, Joachim Broudre Groger, serta delegasi Komisi Uni Eropa, Ulrich Eckle. 7 Praktek hukuman mati nampaknya masih akan diterapkan dalam sistem hukum Indonesia ke depan dengan dimasukannya ketentuan ini ke dalam Ranca ngan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 8 Hukuman mati ditempatkan di bebe rapa ketentuan dalam RUU ini. -Asas Nasional Aktif: Pasal 7 (ayat 4): “Warga negara Indonesia yang di luar wilayah Negara Republik Indonesia melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 9 tidak dapat dijatuhi pidana mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.” Ketentuan ini sejalan dengan prinsip non-refoulement yang berlaku bagi suatu negara yang sudah menerapkan penghapusan praktek hukuman mati. Prinsip non-refoulement ini adalah prinsip keharusan suatu negara untuk menolak permintaan ekst radisi dari negara lain bila orang tersebut bisa mendapat ancaman hukuman mati di negeri peminta. -Pasal 69 (Pidana Penjara): 7 Hukuman Mati Tidak Akan Dicabut; Dubes Uni Eropa Temui Wapres Jusuf Kalla, Media Indonesia, 5 Juli 2006. 8 RUU KUHP ini sudah direvisi selama 25 tahun dan belum ada tanda-tanda akan segera disahkan oleh DPR periode 2004-2009 saat ini. 9 Pasal 7 (ayat 1) dalam RUU KUHP ini berbunyi: Ke tentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia. 4 “(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut.” -Paragraf 11 (Pidana Mati); -Pasal 87: “Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. -Pasal 89: (1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditund a dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika: a. Reaksi masyarakarat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan d. Jika ada alasan yang meringankan. (2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaks ud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum. (3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaks ud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan y ang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. -Pasal 90: “Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana seu mur hidup dengan Keputusan Presiden”. Ada beberapa kemajuan dalam RUU ini. Seperti adanya pertimbangan akhir –lewat evaluasi yang cukup lama- untuk mempersulit eksekusi mati bagi seorang terpidana. Namun menjadi pertanyaan apakah periode penundaan eksekusi yang berkepanjangan (death row phenomenon ) terhadap seorang narapidana sesuai dengan norma HAM kontemporer. Preseden dan pengalaman Komite HAM (ICCPR) atau Komite Anti Penyiksaan (CAT) –yang keduanya sudah diratifikasi Pemerintah RI- menunjukan prakek ter sebut juga tidak diperkenankan. II. KontraS Menolak Hukuman Mati KontraS, di berbagai kesempatan selalu menyatakan penolakkan atas hukuman mati sebagai ekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi 10 . Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup ( right to life ). Hak fundamental ( non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila 10 Tolak Hukuman Mati, Suara Pembaruan, 3 April 2005. 5 seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM dan Presiden SBY telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya. Saya ngnya ratifikasi Kovenan Sipil Politik ini tidak diikuti pula dengan ratifikasi Protokal Tambahan Kedua Kovenan Internasi onal tentang Hak Sipil Politik tentang Pengahapusan Hukuman Mati. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti Penyiksaan No.5/1998. Penerapan hukuman mati di Indonesia juga bertentangan dengan perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amnesty Internasional, mencatat hingga September 2007 ini, terdapat 142 negara –dengan rata-rata pert ambahan 3 negara tiap tahun- yang telah menghapuskan hukuman mati, baik melalui mekanisme hukum maupun praktek konkrit. Bahkan dari jumlah di atas, 24 negara memasukkan penghapusan hukuman mati di dalam konstitusinya. Wilayah yang negaranya paling aktif menghapus praktek hukuman mati adalah Afrika, yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur sosial yang mirip dengan Indonesia. Penghapusan hukuman mati -baik melalui mekanisme hukum atau politik- di Indonesia pasti meninggikan martabat Indonesia di mata komunitas internasional. Selain itu dalam konteks politik hukum di Indonesia, hukuman mati harus ditolak karena: 1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia m asih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan ap aratusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta pada tahun 1980 lalu di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah. 2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. 11 Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati ( capital punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Di tahun 2005 ini misalnya ditemukan pabrik pil ekstasi berskala internasional di Cikande, Serang, Banten. Pabrik ini dianggap sebagai pabrik ekstasi terbesar ketiga di dunia dengan total produksi 100 kilogram ekstasi per minggu dengan nilai sekitar Rp 100 milyar 12 . Ternyata operasi ini melibatkan dua pe rwira aparat kepolisian; Komisaris MP Damanik dan Ajun Komisaris Girsang 13 . Meningkatnya angka kejaha tan narkoba juga diakui oleh Polda Metrojaya. angka kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya (narkoba) 11 Carsten Anckar, Determinants of the Death Penalty; Comparative Study of the World, Routledge, London and New York, 2004. 12 Narkoba Made in Cikande, Gatra, 26 November 2005. 13 Kasus Suap: Dua Perwira Polisi Ditahan, Kompas, 19 November 2005. 6 tahun 2004 naik hingga 39,36 persen jika dibandingkan dengan angka kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 Polda Metrojaya telah menangani 4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1.338 kasus jika dibandingkan kasus narkoba tahun 2003 yang hanya 3.441 kasus 14 . Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku. sampai saat ini bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan ne gara sama sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini. Terakhir kali pada 1 Oktobe r 2005 lalu terjadi lagi kasus bom bunuh diri di Bali. Satu pernyataan pelaku kasus pemboman di depan Kedubes Australia, Jakarta (9 September 2004), Iwan Dharmawan alias Rois, ketika divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 November 2005: “Saya tidak kaget dengan vonis ini karena saya sudah menyangka sejak awal saya menjadi terdakwa. Saya menolak vonis ini karena dijatuhkan oleh pengadilan setan yang berdasarkan hukum setan, bukan hukum Allah. Kalaupun saya dihukum mati, berarti saya mati syahid”. 15 Sikap ini juga ditunjukkan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya menolak meminta grasi atau pengampunan atas perbua tan yang telah dilakukan 16 . Penerapan hukuman mati jelas tidak berefek positif untuk kejahata n terorisme semacam ini. 3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati. Padahal ja nji Presiden SBY hukuman mati diprioritaskan buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM. 4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia. Padahal semenjak era reformasi/transi si politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati m asih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum j uga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD ’45 (Amandemen Kedua) menyatakan: “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa , hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk di akui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. 14 Ada Apa di Balik Meningkatnya Kasus Penyalahgunaan Narkoba?, Kompas, 15 Februari 2005. 15 Divonis Mati, Rois Bersyukur, Suara Pembaruan, 14 September 2005. 16 Imam Samudra: Saya tak akan Minta Grasi, Republika, 18 Agustus 2005. Keluarga Pengebom Bali Menolak Ajukan Grasi, Koran Tempo, 15 Oktober 2005. Keluarga Pilih Imam Samudra Dieksekusi, Indopost, 16 Oktober 2005. Amrozi Dkk Tetap Tolak Ajukan Grasi, Media Indonesia, 20 Oktober 2005. Ditawari Grasi, Amrozi Mencemooh, Indopost, 20 Oktober 2005. Perkara Bom Bali; Imam Samudra, Amrozi, Ali Ghufron Tolak Ajukan Grasi, Kompas, 20 Oktober 2005. Keluarga Amrozi Tak Akan Ajukan Grasi, 22 Oktober 2005. Amrozi Cs Tolak Tanda Tangan Grasi, 22 Oktober 2005. 7 Sayangnya masih banyak sekali peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan semangat konstitusi di atas. Tercatat masi h terdapat 11 perundang-undangan yang masih mencantumkan hukuman mati. 5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman ma ti juga bersifat ambigu. Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih kepa da pemerintah Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada warga negara Indonesia, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan kasus-kasus lainnya baru-baru ini. III. Gambaran Umum Praktek Hukuman Mati di Dunia Pada tanggal 18 Desember 2007 lalu, Majelis Umum PBB –lewat sebuah voting : 104 setuju, 54 menolak, dan 29 abstain- menyetujui sebuah resolusi untuk menyerukan semua negara anggotanya (yang masih mempraktekan hukuman mati) untuk melakukan moratorium. Meskipun resolusi ini bukan merupakan keputusan ya ng mengikat secara hukum bagi anggota-anggota PBB, jelas secara politik perkembangan ini memberikan energi politik baru bagi negara-negara atau organisasi-organisasi non-negara yang mempromosikan abolisi hukuman mati. Resolusi 629/14 yang merupakan hasil advokasi kekuatan pro-abolisi hukuman mati menjadi senjata politik diplomatis untuk mempengaruhi (d an menekan) negara-negara ritensionis (yang masih menerapkan hukuman mati). Organisasi s upra negara yang aktif dalam advokasi anti hukuman mati seperti Council of Europe/CoE (Dewan Eropa), 17 European Union/EU (Uni Eropa), 18 dan Organization for Security and Co-operation in Europe/OSCE 19 akan semakin agresif melancarkan kampanye abolisi hukuman mati dalam kebijakan eksternalnya 20 . Resolusi Majelis Umum PBB tentang moratorium hukuman mati juga menjadi sebuah momentum reflektif bagaimana saat ini praktek hukuman mati secara mayoritas di tingkatan global sudah dianggap menjadi sebuah kebijakan yang usang. 21 Dengan berbagai pilihan kebijakan, mayoritas negara di dunia sudah menerapkan kebijakan abolisi secara de jure 22 atau de facto, 23 dan eksekusi terhadap terpidana mati hanya dijalankan di 17 Council of Europe/CoE terdiri dari 47 negara anggota, mencakup pula negara-negara di luar kawasan Eropa seperti Georgia, Ajerbaizan, dan Armenia yang terletak di Asia. Abolisi hukuman mati merupakan syarat wajib untuk keanggotaan dalam organisasi ini. Di bawah CoE inilah berlaku mekanisme regional pengadilan HAM ( the European Court of Human Rights ). 18 European Union/EU terdiri dari 27 negara anggota. EU juga menerapkan standard abolisi hukuman mati bagi syarat keanggotaannya (berdasarkan the Copenhagen Criteria ). 19 OSCE terdiri dari 56 negara anggota yang semuanya, kecuali Belarusia dan Amerika Serikat sudah menjadi negara abolisi hukuman mati. OSCE memiliki komitmen politik untuk penghapusan hukuman mati, seperti yang dinyatakan dibeberapa rapat pentingnya. Lihat OSCE and ODIHR, The Death Penalty in the OSCE Area; Background Paper 2006 , OSCE/ODIHR, Warsaw, 2006. 20 Isu hukuman mati menjadi salah satu dimensi dalam kebijakan eksternal Council of Europe atau European Union (dan negara-negara anggotannya) seperti dalam kebijakan ekstradisi atau kerja sama hukum bilateral atau multilateral dengan pihak/negara lain. 21 Sementara itu dinamika penting juga terjadi di dua negara penting yang paling teguh mempraktekan hukuman mati, RRC dan Amerika Serikat. RRC melalukan perombakan dalam sistem peradilannya di mana putusan hukuman mati bisa direview oleh pengadilan tertingginya, Supreme People’s Court (SPC) . Sementara itu di Amerika Serikat, negara bagian New Jersey menjadi negara bagian ke-14 yang menghapuskan hukuman mati. New Jersey merupakan negara bagian pertama yang melakukan abolisi hukuman mati sejak tahun 1976, ketika AS melanjutkan kembali praktek eksekusi mati. 22 De jure abolisi artinya hukuman mati sudah dihapus dari sistem pidana atau sistem hukum/perundang-undangan suatu negara. Beberapa negara secara eksplisit menyatakan abolisi hukuman mati di dalam 8 sedikit negara. Kecenderungan ini dianggap mer upakan sebuah perkembangan yang mengejutkan dan merupakan salah satu tematik HAM yang pa ling progresif pasca Perang Dunia II, bahkan bila dilihat dari evolusinya di tataran hukum internasional. 24 Beberapa negara juga semakin memperketat praktek eksekusi dan mempersempit cakupan hukuman mati dalam sistem hukumnya. Praktek Hukuman Mati di Dunia KATEGORI JUMLAH Negara yang menghapus hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan 91 Negara yang menghapus hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa 10 Negara yang melakukan moratorium ( de facto tidak menerapkan) praktek hukuman mati 33 Total negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati 134 Negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati (ritensionis 25 ) 63 Sumber: Amnesty International (Desemberr 2007) Bila melihat tabel di atas, isu hukuman mati tidak sekedar terpolarisasi pada dua kutub pilihan, abolisionis dan ritensionis. Dari kategori tabel di atas terlihat bahwa masih ada berbagai varian di antara dua kutub posisi tersebut. Resolusi Majelis Umum PBB te ntang moratorium hukuman mati jelas merupakan langkah strategis awal untuk me nyeret negara-negara ritensionis untuk paling tidak menjadi negara de facto abolisi dan mendorong negara-negara dalam kategori de facto abolisi menjadi de jure abolisi. Resolusi moratorium in i juga diharapkan mengalihkan negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati dalam situasi darurat (perang) untuk menjadi abolisionis secara total. Praktek kebijakan negara untuk melakukan abolisi hukuman mati juga diimbangi dengan fakta empirik bahwa eksekusi mati juga semakin jarang dipraktekan oleh negara-negara ritensionis. Dari 63 negara yang mempertahankan hukum mati, eksekusi terpidana mati hanya dilakukan di 25 negara untuk 2004 dan 22 negara unt uk 2005. Pada tahun 2005, menurut Amnesty Internasional 26 terdapat paling tidak 2.148 orang dieksekusi di 22 negara. Anehnya 94% angka eksekusi mati tersebut terjadi di hanya empat ne gara; RRC (1.770 orang), Iran (94), Arab Saudi (86), dan Amerika Serikat (60). Untuk tahun 2006, Amnesty International mencatat 25 negara melakukan eksekusi untuk sekitar 1.591 terpidana. Artinya jumlah eksekusi menurun. Sementara Amnesty International memperkirakan masih terdapat 20.00 0 orang di dunia yang berada dalam barisan antri ( death row) menunggu hukuman mati. Namun bila menghitung jumlah populasi konstitusinya, beberapa negara tidak eksplisit menyatakannya, atau pernyataan abolisi hukuman mati bisa keluar dari keputusan hukum lainnya, seperti putus an Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung suatu negara. 23 De facto abolisi hukuman mati terdiri dari dua tipe: Pertama, negara yang meskipun masih menerapkan hukuman mati dalam sistem hukum domestiknya, secara politik menyatakan tidak akan melakukan eksekusi mati. Kategori kedua adalah suatu negara yang masih mempraktekan hukuman mati, namun dalam kurun sepuluh tahun terakhir tidak melakukan eksekusi mati. 24 William A. Schabas, The Abolition of the Death Penalty in International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2002. Roger Hood, The Death Penalty; A Worldwide Perspective , Oxford University Press, Oxford, 2002. 25 Ritensionis adalah negara yang masih melakukan eskekusi mati dalam kurun 10 tahun terakhir. 26 Death Penalty Development in 2005, Amnesty International, bisa diakses di: http://web.amnesty.org/pages/deathpenalty-developments2005-eng . 9 penduduk dunia yang tinggal di RRC, India, Amerika Serikat, Indonesia, Pakistan, dan sebagainya, sebenarnya 80% orang masih hidup di bawah potensi eksekusi mati. Politik abolisi hukuman mati global yang semakin dinamis juga berkorelasi positif dengan evolusi instrumen HAM internasional. Meskipun secara eksplisit praktek hukuman mati tidak pernah dinyatakan bertentangan dengan hukum internasional, praktek-praktek politik abolisi di tingkat internasional secara progresif membuka pemakn aan (tafsir) baru atas instrumen-instrumen internasional. Hingga saat ini abolisi hukuman mati belum mendapat status sejajar dengan larangan perbudakan, diskriminasi rasial, at au penyiksaan yang masuk dalam kategori jus cogens, norma tertinggi dalam hukum internasional yang bisa membatalkan traktat-traktat yang kontradiktif dengan dirinya. Dalam mekanisme yang lain terdapat Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59 27 yang kembali menegaskan bahwa penghapusan hukuman mati merupakan salah satu tonggak progresif dalam peradaban HAM saat ini, sambil menyerukan ra tifikasi terhadap Protokol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik. Resolusi ini juga me miliki tujuan yang lebih pragmatis dengan menekankan masalah isu hukuman mati atas anak-anak di bawah 18 tahun, larangan hukuman mati bagi mereka yang dikategorikan gila, pembatasan hukuman mati bagi ‘kejahatan paling serius’ yang tidak boleh mencakup kejahatan ekonomi atau segala kejahatan yang bersifat non-fisik, dan seruan untuk tidak menerapkan hukuman mati sebagai hukuman wajib/ mandatory death penalty untuk kejahatan tertentu. Hal yang sama ditampilkan di Laporan Lima Tahunan PBB (UN Quinquennial Report on Capital Punishment ) yang ke-7. Laporan PBB yang unik ini berisi monitoring isu hukuman mati baik di tingkatan praktek, legislasi, institusi, maupun politik. 28 PBB sendiri merupakan lembaga yang secara tegas menolak praktek hukuman mati kepada semua terpidana, termasuk bagi para pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, at au kejahatan perang. Semuanya merupakan kategori kejahatan di bawah hukum internasional yang paling serius. Saat ini di tingkat internasional sudah terdapat 4 instrumen HAM –satu bersifat internasional dan tiga bersifat regional- yang khusus mengatur penghapusan hukuman mati. 29 Sementara itu ada juga instrumen internasional lain yang menyinggung pelarangan praktek hukuman mati. Konvensi Hak-Hak Anak/ Convention on the Rights of the Child (1989) Pasal 37 (a) melarang eksekusi mati bagi anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Mekani sme pengadilan/tribunal HAM internasional (ICC, ICTY, ICTR) -seperti yang disinggung di atas- yang merupakan instrumen internasional juga semakin menambah deret panjang hukum internasional yang mengatur abolisi hukuman mati. 27 Dokumennya bisa diakes di: http://ap.ohchr.org/documents/E/CHR/resolutions/E-CN_4-RES-2005-59.doc . 28 Dokumen ini bisa diakses di: http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G06/107/11/PDF/ G0610711.pdf?OpenElement. 29 Pasal ini berbunyi: “Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa: Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan , tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun;” Dokumen CRC ini bisa diakes di: http://www.ohchr.org/english/law/crc.htm . 10 Sementara itu dalam konteks Kovenan Sipol (bagi Negara Pihak yang masih menerapkan praktek hukuman mati), PBB mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984) atau Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty. Ketentuan ini terus diperbaharui, termasuk terakhir oleh Resolusi Komisi HAM 2005/59. Panduan ini memperjelas pembatasan praktek hukuman mati menurut Kovenan Sipol. Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain: 1) Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi ‘kejahatan yang paling serius’ 30 , yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang sangat keji. 2) Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan. Hukuman mati yang bersifat wajib diterapkan (mandatory death penalty) untuk suatu kejahatan juga tidak diperbolehkan. 3) Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada an ak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut 31 . Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila. 4) Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian. 5) Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial , paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa haru s disediakan pembelaan hukum yang memadai 32 . 6) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding terse but bersifat imperatif/wajib. 7) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan. 8) Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman. 30 Meskipun istilah ‘kejahatan paling serius’ masih kabur, dalam beberapa studi Komite HAM di beberapa laporan Negara Pihak yang masuk, ditetapkan bahw a kategori ‘kejahatan paling serius’ tidak boleh mencakup kategori kejahatan politik, kejahatan ekonomi, kejahatan perdata, atau segala tindak kriminal yang tidak melibatkan penggunaan kekerasan. Kom ite HAM juga melarang penggunaan hukuman mati sebagai suatu hukuman wajib/mandatory punishment. Lihat Manfred Nowak, “U.N. Covenant on Civil and Political Rights; CCPR Commentary”, 2 nd revised edition, N.P. Engel, Publisher, 2005. 31 Ketentuan ini juga sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak/Convention on the Rights of the Child, Pasal 37 (a). 32 Pembelaan hukum yang memadai termasuk keharusa n seorang terdakwa didampingi pengacara dan penterjemah bila ia disidang dalam bahasa yang ia tidak mengerti. Terdakwa juga harus disediakan akses terhadap informasi yang lengkap atas persidangan tersebut. 11 9) Ketika eksekusi mati dijalankan, metode nya harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan. Meski demikian masih menjadi perdebatan apakah hukuman mati merupakan jenis hukuman kejam (corporal punishment ) sebagaimana yang menjadi subjek isu Pasal 7 Kovenan Sipol dan juga Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia/Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984). Instrumen HAM Internasional dan Regional tentang Abolisi Hukuman Mati Instrumen Keterangan Jml Negara Pihak 33 Protokol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik (1989) 34 Penghapusan hukuman mati untuk seluruh kejahatan. Masih memperbolehkan reservasi untuk menerapkan hukuman mati di masa perang untuk kategori ‘kejahatan militer paling serius’. 59 negara plus 34 negara penanda tangan. Protokol Konvensi Amerika tentang HAM untuk Abolisi Hukuman Mati (1990) 35 Penghapusan hukuman mati untuk seluruh kejahatan. Masih memperbolehkan reservasi untuk menerapkan hukuman mati di masa perang untuk kategori ‘kejahatan militer paling serius’. 8 negara plus 1 negara penanda tangan. Protokol No. 6 Konvensi Eropa tentang HAM (1983) 36 Penghapusan hukuman mati untuk seluruh kejahatan di masa damai. 45 negara plus 1 negara penanda tangan. Protokol No. 13 Konvensi Eropa tentang HAM (2002) 37 Penghapusan hukuman mati dalam segala situasi termasuk di masa perang. 37 negara plus 7 negara penanda tangan. Sumber: KontraS, dari berbagai sumber. Namun demikian di tingkatan internasional juga masih terdapat praktek kemunduruan. Di penghujung tutup tahun 2006 ini, ditandai sebua h eksekusi mati terhadap seorang tokoh internasional penting. Saddam Hussein, mantan penguasa Irak, dieksekusi dengan digantung pada sekitar pukul enam pagi waktu Baghdad, 30 Desember 2006, di saat umat Muslim merayakan Idul Adha. Saddam Hussein divonis mati pada tanggal 5 November 2006 setelah pengadilan Irak (the Supreme Iraqi Criminal Tribunal/SICT) menyatakan ia bersalah atas pembunuhan terhadap 148 orang dari desa al-Dujail setelah upaya percobaan pembunuhan yang gagal terhadap dirinya di tahun 1982. Persidangan terhadap Saddam Hussein dimulai pada Oktober 2005, hampir dua tahun setelah ia ditangkap oleh pasukan Amerika Serikat dan persida ngan tersebut berakhir pada Juli 2006. Pengadilan Banding/Tinggi Irak kemudian memperkuat putusan pertama pada 26 Desember 2006 dan memerintahkan pelaksanaan eksekusi dalam kurun waktu 30 hari. Dua rekan Saddam Hussein lainnya, Barzan Ibrahim al-Tikriti, saudara tirinya yang pernah menjabat sebagai Kepala 33 Hingga akhir November 2006. 34 Dokumen ini bisa diakses di: http://ohchr.org/english/law/ccpr-death.htm. 35 Dokumen ini bisa diakses di: http://www.cidh.org/Basicos/basic7.htm. 36 Dokumen ini bisa diakses di: http://www.echr.coe.int/NR/rdonlyres/D5CC24A7-DC13-4318-B457-5C9014916D7A/0/EnglishAnglais.pdf. 37 Dokumen ini bisa diakses di: http://www.echr.coe.int/NR/rdonlyres/D5CC24A7-DC13-4318-B457-5C9014916D7A/0/EnglishAnglais.pdf. 12 Badan Intelejen Irak, dan Awad al Bandar, mantan Hakim Ketu a pada Pengadilan Revolusioner Irak. Mereka divonis mati dengan dakwaan yang sama dengan Saddam. Eksekusi mereka belum ditentukan secara pasti, namun te nggangnya tetap 30 hari setelah putusan banding, 26 Desember 2006. Eksekusi Saddam Hussein ini menimbulkan berbagai reaksi keras dari banyak perwakilan negara, khususnya dari komunitas Uni Eropa, beberapa Pe lapor Khusus PBB, dan organisasi-organisasi HAM internasional. Eksekusi Saddam tidak hanya melanggar prinsip hak atas hidup yang tidak mentolerir praktek hukuman mati, namun juga eksekusi ini lahir lewat sebuah proses peradilan yang tidak jujur dan mandiri ( unfair trial). Pelapor Khusus PBB tentang Kemandirian Pengadilan, Leandro Despouy menilai pers idangan Saddam Hussein dan terdakwa lainnya tidak memenuhi standar dan prinsip universal akan pengadila n yang independen/mandiri dan mereka tidak mendapatkan hak-haknya sebagai terdakwa secara memadai 38 . Beberapa organisasi HAM internasional –seperti Human Rights Watch 39 - yang memantau pengadilan Saddam Hussein menemukan banyak cacat prinsipil dan prosedural. Sejak awal proses persidangan bagi Saddam Hussein yang ditu duh bertanggung jawab atas praktek kejahatan terhadap kemanusiaan/ crimes against humanity sudah menimbulkan kontroversi yang pekat. Mantan ditaktor Irak ini dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan massal 148 orang dari Kota al-Dujail pada tahun 1982 setelah ad a upaya percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Sejak awal badan-badan PBB sudah menyatakan bahwa invasi pimpinan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 merupakan tindakan yang ilega l. Pembentukan SICT juga merupakan tindakan sepihak yang melanggar standar HAM universal. Seharusnya untuk dakwaan seserius yang dituduhkan terhadap Saddam Hussein harus diadili oleh mekanisme Tribunal HAM internasional, sama seperti untuk kasus bekas negara-negara di Yugoslavia (ICTY) dan di Rwanda (ICTR). Penyimpangan lainnya adalah meskipun SICT didisain mirip dengan Tribunal HAM internasional namun SICT menerapkan hukuman mati, sementara ICTY dan ICTR -yang dibentuk atas resolusi Dewan Keamanan PBB 808 (1993) dan 955 (1994)- sudah tidak memperbolehkannya. Sejak awal SICT penuh dengan intervensi da ri lawan politk Saddam Hussein dan kepentingan Pemerintahan Bush. Unfair trial dari SICT terlihat dari kegagalann ya untuk menunjuk perangkat pengadilan yang imparsial dan independen. Pemerintah AS mendukung pihak penuntut dengan mengeluarkan ratusan ribu dollar AS untuk mencari bukti yang memberatkan, sementara tim pembela Saddam Hussein bekerja secara voluntaristik dan sering mendapat tekanan. Kegagalan lainnya adalah ketiadaan perlindungan terhadap saksi dan pemb ela hukum. Sejak dimulain ya persidangan sudah tiga pembela hukum Saddam Hussein yang dibun uh. Monitoring organisasi HAM internasional juga menunjukkan bahwa Saddam Hussein tidak mendapat akses penuh terhadap pembela hukumnya pada tahun pertama setelah ia ditangkap. Praktek persidangan yang tidak independen dan jujur ini merupakan preseden yang buruk bagi reformasi institusi peradilan di Irak yang sedang menjalani proses transisi. 38 United Nations Human Rights Independent Expert Reiterates Concern About Saddam Hussein Trial and Death Sentence, 28 Desember 2006. Pernyataan ini bisa diakses pada: http://www.unog.ch/unog/website/news_media.nsf/(httpNewsBy Year_en)/9B80E6578A747F43C12572570 039CC43?OpenDocument 39 Judjng Dujail; The First Trial before the Iraqi High Tribunal, Human Rights Watch, November 2006. Laporan ini bisa diakses di: http://hrw.org/reports/2006/iraq1106. 13 Eksekusi Saddam Hussein bukan satu-satunya kemunduran dalam gerakan penghapusan hukuman mati. Di bulan Desember 2006, Bahrain melakukan eksekusi untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun terakhir. Di Florida, Amerik a Serikat, pada bulan Desember 2006, Angel Diaz dieksekusi dengan suntik racun (lethal injection). Ia mengerang kesakitan setelah mendapat suntikan pertama. Setelah itu suntikan kedua dilakukan dan baru 34 menit kemudian Diaz dinyatakan meninggal. Dua hari kemudian, Gubernur Florida, Jab Bush menunda semua eksekusi sampai bisa dibuktikan metode suntik itu benar-benar ‘manusiawi’. Perkembangan Penting Penghapusan Hukuman Mati di Dunia Tahun Perkembangan 1863 Venezuela menjadi negara pertama di dunia yang menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Hingga tahun 1900, Kosta Rika dan San Marino menghapuskan hukuman mati untuk segala jenis kejahatan. 1900-1939 Kolombia, Ekuador, Panama, Uruguay, Islandia menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1948 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM menyatakan adalah hak setiap individu untuk tidak dicabut hak hidupnya. DUHAM juga menyatakan bahwa tidak ada seorang pun boleh menjadi korban penyiksaan dan hukuman yang merendahkan martabat. Hukuman mati melanggar kedua ketentuan hak dasar tersebut. 1949 Jerman Barat ( Republik Federal Jerman ) menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1950-1969 Honduras, Austria, Republik Dominika, dan Vatikan menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1966 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hak atas hidup dinyatakan sebagai non-derogable right. Pada saat itu baru 14 negara yang menghapus hukuman mati untuk segala jenis kejahatan. 1976 Portugal menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1978 Denmark menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1979 Luksemburg, Nikaragua, dan Norwegia menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Brasilia, Fiji, dan Peru menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa. 1981 Prancis dan Cape Verde menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1982 Belanda menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1983 Siprus dan El Salvador menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa. 1984 Argentina menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa. 1985 Australia menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1987 Haiti, Liechtenstein, dan Republik Demokratik Jerman ( Jerman Timur 40 ) menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1989 Protokol Tambahan Kedua ICCPR tentang penghapusan hukuman mati disahkan. Kamboja , Selendia Baru, Rumania , dan Slovenia menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan 41 . 1990 Andora 42 , Kroasia 43 , Republik Federal Ceko dan Slovakia 44 , Hongaria, Irlandia, Mozambik, Namibia, dan Sao Tome and Principe menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 40 Pada tahun 1990, Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur) melakukan unifikasi dengan Republik Federal Jerman (Jerman Barat) yang sudah menghapus hukuman mati sejak 1949. 41 Slovenia menghapus hukuman mati ketika masih menjadi bagian dari Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Slovenia menjadi negara independen pada 1991. 14 1992 Angola, Paraguay , dan Swiss menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1993 Tribunal Internasional untuk Kejahatan Perang (Resolusi Dewan Keamanan PBB) menyatakan hukuman mati tidak diberlakuka n sebagai penghukuman, meski itu untuk kejahatan paling serius dan keji seperti genosida. Hal ini bisa dilihat pada praktek Tribunal Internasional untuk kasus Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Guinea-Bissau , Hong Kong 45 dan Seychelles menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1994 Italia menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1995 Djibouti, Mauritius, Moldova 46 , dan Spanyol menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1996 Belgia menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1997 Georgia, Nepal, Polandia , dan Afrika Selatan menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Bolivia menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa. 1998 Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) disahkan dan tidak memberlakukan hukuman mati. Azerbaijan, Bulgaria , Kanada, Estonia, Lithuania, dan Inggris Raya menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 1999 Timor Leste, Turkmenistan , dan Ukraina menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Latvia 47 menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa. 2000 Pantai Gading dan Malta menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Albania 48 menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa. 2001 Bosnia-Herzegovina 49 menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Cili menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa. 2002 Siprus dan Yugoslavia (kemudian Serbia dan Montenegro) menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 2003 Armenia menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 2004 Bhutan, Yunani, Samoa , Senegal, dan Turki 50 menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Eropa menjadi kawasan bebas hukuman mati. 2005 Liberia 51 dan Meksiko menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 2006 Filipina 52 menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 2007 Rwanda dan Gabon menghapus hukuman mati dalam sistem hukumnya. Sumber: Amnesty International dan Hands Off Cain (2007) 42 Pada tahun 2006, Andora meratifikasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik dan menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 43 Kroasia menghapus hukuman mati ketika masih menjadi bagian dari Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Kroasia menjadi negara independen pada 1991. 44 Sejak 1993 menjadi dua negara independen yang terpisah, Republik Ceko dan Slovakia. 45 Pada tahun 1997, Hong Kong dikembalikan kepada administrasi RRC dan menjadi wilayah administrasi istimewa. Sejak saat itu Hong Kong masih menghapus hukuman mati. 46 Pada tahun 2006, Moldova meratifikasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik dan menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 47 Pada tahun 1999, parlemen Latvia memutuskan untuk meratifikasi Protokol No. 6 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, menghapuskan hukuman mati untuk segala kejahatan di masa damai. 48 Pada tahun 2000, Albania meratifikasi Protokol No. 6 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, menghapuskan hukuman mati untuk segala kejahatan di masa damai. 49 Pada tahun 2001, Bosnia-Herzegovina meratifikasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik. 50 Pada tahun 2006, Turki meratifikasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik dan menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. 51 Pada tahun 2005, Liberia meratifikasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik. 52 Pada tahun 2006, Filipina meratifikasi Prot okol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik. 15 16

Minggu, 08 April 2012

Form Astra

ASTRA, a world of opportunities APPLICATION FORM Astra 1st Program 3 x 4 photograph PERSONAL IDENTITY Full Name: Haryono Arif Place & Date of Birth: Pamekasan,16 juli 1989 Address: JL.P.Trunojoyo 357,Pamekasan-Madura Email: Haryoalmanduri@gmail.com Phone Number: 081944800744 Mobile: EDUCATION BACKGROUND High School : MAN University: HANG TUAH SURABAYA GPA: 3,34 Faculty: LAW FACULTY Semester: IV Major: Credits have been taken: Title of your final project: (if any) Expected time of graduation (month and year): SPECIAL COURSE / TRAINING ATTENDED: Year Course / Training Place / Insitution Remark 1 COURSE PAMEKASAN 1 ASTRA, a world of opportunities EXTRA CURRICULAR ACTIVITIES (specify organizational activities you have attended within a maximum of 2 years and showed the greatest contribution that you provide) Year Activities / Organization Organization Scope Position Held Responsibilities WORK EXPERIENCE (Including part time job, freelance, internship, etc.) Year Company Position Held Responsiblities SPECIAL AWARD Please mention award(s) you have been received and explain it briefly (academic honors, distinction, scholarship, etc) Year Award Institution Remarks 2 ASTRA, a world of opportunities INTEREST What do you usually do in your spare time? PERSONAL EVALUATION What make you different from others? What would you consider need to be improved in yourself? Would you like to participate in all programs provided during 1 year ? YES NO How do you know about Astra 1st Program ? University information board Friends / relatives www.astra.co.id other internet (facebook, email, mailing list, ......................) Jakarta, ………………., 2011 Facebook: Astra Community Twitter: AstraCommunity Email: astra1st@ai.astra.co.id ASTRA, a world of opportunities ACHIEVEMENT Personally, what is your greatest achievement(s), how do you accomplish it and why would you consider it as your greatest achievement(s) __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ 4 ASTRA, A WORLD OF OPPORTUNITIES MOTIVATION & PERSONAL STRENGTH Explain to us, what is your biggest motivation(s) to join this program and why we need to choose you as one of Astra 1st candidates. __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ 5

Rabu, 04 Januari 2012

SURAT PERJANJIAN SEWA BELI TANAH

PERJANJIAN SEWA BELI TANAH

Perjanjian ini dibuat pada hari _____ tanggal _____ bulan _____ tahun _____ antara:
1. Nama :
Pekerjaan :
Alamat :
Bertindak untuk dan atas diri sendiri, yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.

2. Nama :
Pekerjaan :
Alamat :
Bertindak untuk dan atas dirinya sendiri, yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

Para Pihak yang bertindak masing-masing dalam kedudukannya tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan:
― Bahwa PIHAK PERTAMA adalah pemilik atau yang berhak atas sebidang tanah sebagaimana diuraikan Sertifikat Hak Milik Nomor _____ , yang terletak di:
- Provinsi :
- Kotamadya :
- Kecamatan :
Seluas _____ m2 (_____ meter persegi), Gambar Situasi tertanggal _____ (Tanda Bukti Hak) yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan _____ , tertanggal _____ .
― Bahwa PIHAK PERTAMA berkehendak menjual Tanah tersebut kepada PIHAK KEDUA, dan PIHAK KEDUA berkehendak membeli Tanah tersebut dengan cara kredit.

Para Pihak sepakat mengikatkan diri dalam Perjanjian Sewa Beli Tanah dengan ke-tentuan dan syarat-syarat berikut ini:

Pasal 1
HARGA

Sewa beli Tanah tersebut ditetapkan dengan harga Rp _____ (_____ Rupiah).

Pasal 2
CARA PEMBAYARAN

Pembayaran atas Tanah tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Uang muka jual beli ini ditetapkan sebesar Rp _____ (_____ Rupiah) yang akan dibayarkan PIHAK KEDUA pada saat penandatanganan Perjanjian ini, dan Perjanjian ini sebagai tanda terima yang sah.
2. Sisa pembayaran yang belum dibayar oleh PIHAK KEDUA dianggap utang dari PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA yang akan dibayar secara angsuran selama _____ (_____) kali setiap bulan sebesar Rp _____ (_____ Rupiah) setiap bulan, terhitung mulai _____ bulan sejak saat penandatanganan Perjanjian ini.
3. Pembayaran angsuran tersebut dilakukan selambat-lambatnya pada tanggal _____ setiap bulannya dengan mengambil tempat di tempat PIHAK PERTAMA.

Pasal 3
BUKTI PEMBAYARAN

1. PIHAK PERTAMA akan memberikan kuitansi untuk setiap angsuran dan pem-bayaran angsuran hanya dianggap sah apabila PIHAK PERTAMA telah menerima bukti kuitansi resmi.
2. Contoh dan bukti kuitansi resmi adalah sama dengan kuitansi yang dikeluarkan oleh PIHAK PERTAMA dengan tanda tangan asli PIHAK PERTAMA.
3. Pembayaran angsuran tanpa kuitansi resmi yang sah dianggap tidak berlaku dan segala risiko yang timbul menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA.

Pasal 4
JANGKA WAKTU PEMBAYARAN

Jangka waktu pembayaran ditetapkan selama _____ bulan, dari sejak saat pe-nandatanganan Perjanjian ini, yaitu mulai tanggal _____ sampai dengan tanggal _____ atau berakhir dengan pelunasan angsuran.
Pasal 5
DENDA

Apabila PIHAK KEDUA pada tanggal yang telah ditentukan pembayarannya belum melakukan pembayaran angsuran (jatuh tempo), maka PIHAK KEDUA harus mem-bayar dan karenanya dikenakan denda/ganti kerugian sebesar _____ % (_____ persen) per hari dari besarnya angsuran pembayaran yang belum dibayarkan.

Pasal 6
PEMBATALAN

1. Dengan tidak dilakukannya pembayaran angsuran oleh PIHAK KEDUA berturut-turut selama _____ (_____) bulan, maka tanpa memerlukan teguran terlebih dahulu dari PIHAK PERTAMA, maka PIHAK KEDUA dianggap telah cukup membuktikan bawa PIHAK KEDUA dalam keadaan lalai atau wanprestasi.
2. Keadaan lalai atau wanprestasi tersebut menyebabkan Perjanjian ini batal dengan sendirinya, dan kedua belah pihak sepakat untuk melepas segala ke-tentuan yang termuat dalam Pasal 1266 KUH Perdata.
3. Dalam hal pembatalan Perjanjian ini, maka seluruh pembayaran yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA dikembalikan penuh kepada PIHAK PERTAMA.

Pasal 7
KEPEMILIKAN

1. Hak pemilikan atas Tanah tersebut merupakan hak PIHAK PERTAMA selama proses pembayaran belum selesai atau lunas.
2. PIHAK KEDUA diperbolehkan untuk menggunakan Tanah tersebut termasuk mendirikan bangunan rumah atau hal-hal yang dikehendakinya selama proses pembayaran belum lunas dengan persetujuan dari PIHAK PERTAMA

Pasal 8
LARANGAN-LARANGAN

Kedua belah pihak tidak diperbolehkan memindahtangankan, mengoperkan, menjual, menggadaikan, atau melakukan perbuatan-perbuatan lain yang bertujuan untuk memindahtangankan hak kepemilikan atas Tanah tersebut kepada pihak lain selama proses pembayaran belum selesai atau lunas.
Pasal 9
PENYERAHAN

1. PIHAK PERTAMA akan menyerahkan hak kepemilikan atas Tanah tersebut kepada PIHAK KEDUA selambat-lambatnya_____ (_____) hari setelah PIHAK KEDUA melunasi seluruh pembayarannya.
2. PIHAK PERTAMA dengan ini memberikan kekuasaan penuh kepada PIHAK KEDUA dalam proses pembaliknamaan atas kepemilikan hak atas tanah tersebut dalam hal pengurusan yang menyangkut instansi-instansi terkait, memberikan keterangan-keterangan serta menandatangani surat-surat yang bersangkutan serta melakukan segala hak yang ada hubungannya dengan pendaftaran atas nama PIHAK KEDUA serta perpindahan hak dari PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA.

Pasal 10
BIAYA-BIAYA

1. Biaya-biaya pembuatan sertifikat atas tanah tersebut di atas pada Instansi yang berwenang serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan pemindahan dan penyerahan hak ini agar sertifikat tanah tersebut terdaftar atas nama PIHAK KEDUA semuanya dipikul dan dibayar oleh PIHAK KEDUA.
2. PIHAK PERTAMA bersedia membayar segala macam pajak, iuran, dan pungutan yang berhubungan dengan tanah sebelum Tanah tersebut diserahkan kepada PIHAK KEDUA.
3. Setelah peyerahan Tanah tersebut oleh PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA, maka segala macam pajak, iuran, dan pungutan atas Tanah menjadi kewajiban dan tanggung jawab PIHAK KEDUA.

Pasal 11
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Kedua belah PIHAK telah sepakat untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Bilamana musyawarah tersebut tidak menghasilkan kata sepakat tentang cara penyelesaian perselisihan, maka kedua belah pihak sepakat memilih tempat tinggal yang umum dan tetap di Kantor pengadilan Negeri _____ .

Demikian Perjanjian ini dibuat dengan itikad baik untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak, dibuat dalam rangkap 2 (dua) asli masing-masing sama bunyinya, bermeterai cukup, dan mempunyai kekuatan hukum yang sama untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA