THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 04 April 2011

Tinjauan Hukum Tentang Judi

Bicara tentang “Judi” termasuk “Sabung Ayam” yang lebih dikenal dengan tajen selain dilarang oleh Agama, juga secara tegas dilarang oleh hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP, Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981. Hal ini disadari pemerintah, maka dalam rangka penertiban perjudian, pasal 303 KUHP tersebut dipertegas dengan UU. No.7 1974, yang di dalam pasal 1, mengatur semua tindak pidana judian sebagai kejahatan. Di sini dapat dijelaskan bahwa semua bentuk judi tanpa izin adalah kejahatan tetapi sebelum tahun 1974 ada yang berbentuk kejahatan (pasal 303 KUHP), ada yang berbentuk pelanggaran (pasal 542 KUHP) dan sebutan pasal 542 KUHP, kemudian dengan adanya UU.No.7 1974 diubah menjadi pasal 303 bis KUHP.

Dalam pasal 2 ayat (1) UU. No.7 1974 hanya mengubah ancaman hukuman pasal 303 ayat (1) KUHP dari 8 bulan penjara atau denda setinggi-tingginya 90.000 rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya 10 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 25 juta rupiah. Di dalam pasal 303 ayat (1)-1 Bis KUHP dan pasal 303 ayat (1)-2 Bis KUHP memperberat ancaman hukuman bagi mereka yang mempergunakan kesempatan, serta turut serta main judi, diperberat menjadi 4 tahun penjara atau denda setinggi-tingginya 10 juta rupiah dan ayat (2)-nya penjatuhan hukuman bagi mereka yang pernah dihukum penjara berjudi selama-lamanya 6 tahun atau denda setinggi-tingginya 15 juta rupiah.

Memang ironisnya sekalipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” telah dilarang dengan tegas dalam undang-undang, namun segala bentuk praktik perjudian menjadi diperbolehkan jika ada “izin” dari pemerintah.Perlu diketahui masyarakat bahwa Permainan Judi ( hazardspel ) mengandung unsur ; a) adanya pengharapan untuk menang, b) bersifat untung-untungan saja, c) ada insentif berupa hadiah bagi yang menang, dan d) pengharapan untuk menang semakin bertambah jika ada unsur kepintaran, kecerdasan dan ketangkasan.

Dan secara hukum orang dapat dihukum dalam perjudian, ialah : 1) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) yang mengadakan atau memberi kesempatan main judi sebagai mata pencahariannya, dan juga bagi mereka yang turut campur dalam perjudian (sebagai bagian penyelenggara judi) atau juga sebagai pemain judi. Dan mengenai tempat tidak perlu ditempat umum, walaupun tersembunyi, tertutup tetap dapat dihukum ; 2) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum, disini tidak perlu atau tidak disyaratkan sebagai mata pencaharian, asal ditempat umum yang dapat dikunjungi orang banyak/umum dapat dihukum, kecuali ada izin dari pemerintah judi tersebut tidak dapat dihukum ; 3) Orang yang mata pencahariannya dari judi dapat dihukum ; 4) orang yang hanya ikut pada permainan judi yang bukan sebagai mata pencaharian juga tetap dapat dihukum. (vide, pasal 303 bis KUHP).

Kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah, tepatnya dalam pasal 1 PPRI No.9 tahun 1981 yang isi pokoknya melarang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, baik dalam bentuk judi yang diselenggarakan di “kasino”. di “keramaian” maupun dikaitkan dengan alasan lain, yang jika dikaitkan lagi dengan isi pasal 2 dari PPRI No.9 tahun 1981 yang intinya menghapuskan semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan PPRI No.9 tahun 1981 ini, khususnya yang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, maka ini dapat berarti pasal 303 ayat (1) dan/atau pasal 303 bis KUHP tidak berlaku lagi.

Agaknya pengaturan tentang “judi” terdapat pengaturan yang saling bertentangan, disatu pihak UU No.7 tahun 1974 Jo. pasal 303 KUHP yang mengatur tentang “judi” bisa diberi izin oleh yang berwenang, disisi lain bertentangan dengan aturan pelaksanaannya, yaitu PPRI No.9 tahun 1981, yang melarang “judi” (memberi izin) perjudian dengan segala bentuknya. Memang secara azas theory hukum, PPRI No.9 tahun 1981 tersebut dengan sendirinya batal demi hukum, karena bertentangan dengan peraturan yang di atasnya.

Atas dasar ini Kepolisian hanya dapat menindak perjudian yang tidak memiliki izin, walaupun judi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai seluruh agama yang dianut. Guna menghindari adanya tindakan anarkisme dari kalangan ormas keagamaan terhadap maraknya praktik perjuadian yang ada, maka sudah seharusnya Pemerintah bersama DPR tanggap dan segera membuat perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang “larangan praktik perjudian” yang lebih tegas, khususnya larangan pemberian izin judi di tempat umum atau di kota-kota dan di tempat-tempat pemukiman penduduk, agar negara kita sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana masyarakatnya yang religius tetap terjaga imagenya.

KEBIJAKAN PIDANA BERSYARAT DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA

Abstract
Pidana Bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa kepada pelanggar-pelanggar hukum, tetapi bertujuan pula untuk mendidik, membina, mengadakan pencegahan supaya orang tidak melakukan perbuatan pidana. Pidana Bersyarat adalah suatu sistem pidana, dimana terhadap pidana dijatuhi pidana penjara, akan tetapi pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani olehnya, apabila dalam masa percobaan yang dilakukan suatu pelanggaran hukum atau pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan. Yang menjadi permasalahan dalam penulisan hukum ini yang pertama adalah bagaimana kebijakan mengenai pidana bersyarat dalam sistem pemidanaan saat ini dan permasalahan yang ke dua adalah bagaimana kebijakan pidana bersyarat dalam sistem pemidanaan yang akan datang. Dalam penulisan skripsi ini metode pendekatannya dilakukan dengan yuridis empiris dengan spesifikasi penelitian yang bersifat deskritif analisis yang berusaha menggambarkan obyek apa adanya, metode pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder, kemudian laporan tersebut disusun secara logis sistematis dan analisanya dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian kebijakan pidana bersyarat dalam sistem pemidanaan pada saat ini terdapat di dalam Pasal 14a-f KUHP dan Pasal 29 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sedangkan pada saat yang akan datang tercantum di dalam Pasal 77 s/d 78 Rancangan KUHP Baru Tahun 2008. Di dalam KUHP pidana bersyarat dapat dijatuhkan tidak hanya untuk pidana penjara, pidana kurungan, denda yang sangat berat dan bahkan juga untuk pidana tambahan. Dalam UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pidana bersyarat hanya untuk pidana penjara dan lamanya masa percobaan maksimum 3 (tiga) tahun (dengan tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran). Dalam sistem Konsep KUHP Baru 2008 pidana bersyarat mengalami perumusan baru berupa pidana pengawasan terdapat dalam Pasal 77 s/d 78 pidana bersyarat dapat dijatuhkan apabila terpidana melakukan tindak pidana dan di ancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun tidak berlaku untuk pidana kurungan dan pidana tambahan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa penjatuhan pidana bersyarat dimungkinkan mengalami perubahan di samping, jenis pidananya yang dapat diganti dengan pidana bersyarat maupun lamanya ancaman pidana yang dirumuskan. Perkembangan yang tampak dirubahnya perumusan pidana bersyarat menjadi pidana pengawasan dalam Konsep KUHP Baru 2008. Kata Kunci : Kebijakan Pidana Bersyarat, Sistem Pemidanaan.