THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 15 Juli 2011

MAKALAH
PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM
DAN
UU. NO. 1 TH 1974

Nama : Haryono Arif
NIM : 2010.06.0.0031


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA



Daftar isi

A. Kata Pengantar
B. Latar Belakang Masalah
C. Perumusan Masalah
D. Pembahasan Masalah
E. Kesimpulan











KATA PENGANTAR

A. Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, di mana atas saya bisa membuat makalah ini, meskipun saya sadar banyak kekurangan dalam penulisan makalah, namun inilah yang saya lakukan.

Makalah ini kami buat atas rekomendasi oleh dosen yang terkait, sebagai upaya untuk membentuk mahasiswa kedalam pemahaman tentang masalah-masalah dan konsep-konsep yang berhubungan dengan Perceraian Menurut Hukum Islam dan UU No.1 tahun 1974, serta memberikan wawasan yang komprehensif dan terpadu dalam memecahkan masalah tersebut.

Pada kesempatan kali ini apabila dalam pembuatan makalah banyak terdapat kekeliruan dan kekurangan. Semoga dalam pembuatan makalah ini dapat menambah wawasan terhadap ilmu yang mempelajari tentang hokum perceraian menurut agama isalm dan undang-undang perkawinan terima kasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing yang telah memberikan tugas makalah.





Pendahuluan
B. Latar Belakang.
Perkawinan merupakan salah satu naluri manusia, karena dengan adanya perkawinan tumbuh rasa saling memberi, memiliki dan saling membantu, sehingga terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan suatu model atau performance keluarga yang dicita-citakan oleh setiap orang.
Perkawinan merupakan awal hidup bersama dalam suatu ikatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud membentuk keluarga yang bahagia, seperti yang diamanahkan oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi : “Tujuan perkawinan adalah juga untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Oleh karena perkawinan/pernikahan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berarti dalam rumah tangga itu seharusnya tercipta adanya hubungan yang harmonis antara suami isteri dan anggota keluarganya berdasarkan adanya prinsip saling menghormati (menghargai) dengan baik, tenang, tenteram dan saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.
Menciptakan sebuah rumah tangga yang damai berdasarkan kasih sayang yang menjadi performance merupakan idaman bagi setiap pasangan suami isteri merupakan upaya yang tidak mudah, tidak sedikit pasangan suami isteri yang gagal dan berakhir dengan sebuah perceraian.
Angka perceraian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Dilihat dari putusnya perkawinan dalam UU Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena karena kematian, karena perceraian, dan karena putusan pengadilan.
Bertolak dari uraian sebab-sebab putusnya perkawinan tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk menelaah sebab-sebab putusnya perkawinan, khususnya mengenai putusnya perkawinan karena perceraian menurut hukum Islam dan UU Perkawinan ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU. NO. 1 TH 1974”.
C. Perumusan Masalah.
Mendasarkan pada uraian latar belakang di atas, maka dalam penulisan ini permasalahan yang akan dibahas adalah untuk mengetahui pengaturan perceraian menurut hukum Islam dan UU. No. 1 Th 1974.
D. Pembahasan.
Perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perceraian. UU perkawinan menyebutkan adanya 16 hal penyebab perceraian. Penyebab perceraian tersebut lebih dipertegas dalam rujukan Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana yang pertama adalah melanggar hak dan kewajiban.
Dalam hukum Islam, hak cerai terletak pada suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama maupun pengadilan Negeri ada istilah Cerai Talak. Sedangkan putusan pengadilan sendiri ada yang disebut sebagai cerai gugat. Disinilah letak perbedaannya. Bahkan ada perkawinan yang putus karena li’an, khuluk, fasikh dan sebagainya. Putusan pengadilan ini akan ada berbagai macam produknya.
Pada penyebab perceraian, pengadilan memberikan legal formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talak dari suami. Surat talak tersebut diberikan dengan mengacu pada alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (2), dimana salah satu pihak melanggar hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun surat talak tersebut sah secara hukum, namun tidak ada kata kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai. Sebagai contoh, apabila seorang suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka talak satu yang diucapkan tersebut harus dilegalkan telebih dahulu di depan pengadilan. Karena pada dasarnya secara syar’i, talak tidak boleh diucapkan dalam keadaan emosi. Sehingga, melalui proses legalisasi di depan pengadilan, terdapat jenjang waktu bagi suami untuk merenungkan kembali talak yang telah terucap. Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi. Di pengadilan sekarang sudah dimulai sejak adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung No, 1 Tahun 2002. Seluruh hakim di Pengadilan Agama benar-benar harus mengoptimalkan lembaga mediasi tersebut.
Melalui mediasi tersebut, banyak permohonan talak yang ditolak oleh Pengadilan Agama, dengan beberapa alasan. Pertama, karena tidak sesuai dengan ketentuan UU. Kedua, mungkin dari positanya obscuur atau kabur, dan antara posita dan petitumnya bertentangan. Misalnya, istri minta cerai, tetapi dia minta nafkah juga. Sedangkan dalam alasan perceraiannya, si istri menyebutkan bahwa suaminya tidak memberi nafkah selama beberapa bulan berturut-turut.
Lembaga mediasi yang mulai dioptimalkan sejak tahun 2003, membawa banyak hasil positif. Lembaga mediasi ini selalu berpulang pada syar’i. Al-Qur’an selalu kembali pada lembaga hakam itu. Jadi, hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri. Jadi, setiap perkara yang bisa diarahkan dengan menggunakan lembaga hakam dan mengarah pada syiqoq, sebisa mungkin menggunakan lembaga mediasi.
Alasan-alasan cerai yang disebutkan oleh UU Perkawinan yang pertama tentunya adalah apabila salah satu pihak berbuat yang tidak sesuai dengan syariat. Atau dalam UU dikatakan disitu, bahwa salah satu pihak berbuat zina, mabuk, berjudi, terus kemudian salah satu pihak meninggalkann pihak yang lain selama dua tahun berturut-turut. Apabila suami sudah meminta izin untuk pergi, namun tetap tidak ada kabar dalam jangka waktu yang lama, maka istri tetap dapat mengajukan permohonan cerai melalui putusan verstek. Selain itu, alasan cerai lainnya adalah apabila salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya, misalnya karena frigid atau impoten. Alasan lain adalah apabila salah satu pihak (biasanya suami) melakukan kekejaman. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menambahkan satu alasan lagi, yaitu apabila salah satu pihak meninggalkan agama atau murtad. Dalam hal salah stau pihak murtad, maka perkawinan tersebut tidak langsung putus. Perceraian merupakan delik aduan. Sehingga apabila salah satu pasangan tidak keberatan apabila pasangannya murtad, maka perkawinan tersebut dapat terus berlanjut. Pengadilan Agama hanya dapat memproses perceraian apabila salah satu pihak mengajukan permohonan ataupun gugatan cerai.
Tata cara pengajuan permohonan dan gugatan perceraian merujuk pada Pasal 118 HIR, yaitu bisa secara tertulis maupun secara lisan. Apabila suami mengajukan permohonan talak, maka permohonan tersebut diajukan di tempat tinggal si istri. Sedangkan apabila istri mengajukan gugatan cerai, gugatan tersebut juga diajukan ke pengadilan dimana si istri tinggal. Dalam hal ini, kaum istri memang mendapatkan kemudahan sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
Setelah cerai, maka bagi istri berlaku masa tunggu (masa iddhah), yaitu selama tiga nulam sepuluh hari. Sedangkan bagi wanita yang sedang hamil, maka masa iddhah nya adalah sampai dia melahirkan. Masa idhah tersebut berlaku ketika putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk kasus cerai talak, maka masa iddhah berlaku setelah permohonan talak suami dilegalkan oleh Pengadilan Agama.
Apabila masa iddhah telah lewat dan mantan suami istri ingin kembali rujuk, maka mereka pun dapat kembali rujuk, namun harus dilihat jenis talaknya terlebih dahulu. Secara umum, talak artinya adalah kembali. Terdapat dua jenis talak, yaitu talak Ba’in dan talak Raj’i. Talak Raj’i adalah talak yang diucapkan oleh suami, dan apabila ingin rujuk dalam masa iddhah, maka tidak perlu ada akad nikah baru. Cukup adanya pernyataan dari pihak suami bahwa mereka sudah rujuk. Sedangkan untuk talak Ba’in, yaitu perceraian karena diajukan oleh sang istri. Talak Ba’in terdiri atas dua jenis, yaitu Ba’in Kubro dan Ba’in sugro. Talak Ba’in Kubro dapat diupayakan rujuk, namun harus melalui penghalalan (muhalil). Sedangkan untuk Ba’in Sugro terlepas dari adanya masa masa iddhah atau tidak, tetap harus melalui akad nikah untuk rujuk dan harus melewati prosesi pernikahan sebagaimana awal menikah dulu.
Secara umum, masyarakat hanya mengenal istilah talak sebatas sebutan talak satu, talak dua dan talak tiga. Talak yang dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak. Sedangkan talak yang diajukan oleh istri dinamakan cerai gugat. Jadi sebenarnya ada dua jenis talak. Dari kedua talak ini, akan ada beberapa produk talak. Produk Cerai talak adalah Talak Raj’i, dimana untuk rujuk tidak harus melalui akad baru. Rujuk dalam Talak Raj’i cukup hanya dengan pernyataan suami bahwa dia telah rujuk dengan sang istri. Sedangkan produk cerai gugat adalah talak Ba’in, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Dalam Talak Bail Kubro, terdapat Li’an dan dzihar. Li’an artinya adalah sumpah seorang suami dan istri bahwa satu sama lain telah berzina. Jadi, masing-masing pihak telah siap dengan konsekuensi dan azhab dari Allah, apabila memang benar mereka berbohong.
Sedangkan dzihar adalah tindakan suami yang mempersamakan istrinya dengan ibu kandungnya. Dalam syariat sama saja dengan mencampuri ibunya. Oleh karena itu, Li’an merupakan perbuatan yang harus diceraikan dengan talak Ba’in Kubro. Dalam hal muhalil, maka si muhalil wajib kumpul dengan istrinya tanpa basa basi. Muhalil tidak boleh disertai dengan mut’ah.
Dalam hal sang istri ingin mengajukan gugatan, maka hal utama yang harus dipersiapkan oleh sang istri adalah surat gugatan. Sedangkan untuk cerai talak, kurang lebih sama. Namun yang perlu dipersiapkan oleh sang suami bukan gugatan, melainkan permohonan untuk melegalkan talak yang sudah terucap.
Alasan untuk mengajukan cerai talak dan cerai gugat kurang lebih sama. Hanya saja dalam cerai talak ada satu perbedaan, yaitu seorang istri yang nusyuz, artinya seorang istri yang tidak taat kepada suami.
Apabila setelah bercerai baik suami maupun istri ingin rujuk kembali, maka peristiwa rujuk tersebut akan tercatat dalam lembar terakhir buku nikah. Demikian halnya apabila para pihak memiliki perjanjian pranikah, maka perjanjian tersebut akan tercatat dalam lembar terakhir buku nikah itu juga, dengan sepengetahuan instansi yang berwenang, yaitu KUA.
Dampak dari suatu perceraian selain mengenai masalah harta, juga mengenai masalah hak wali anak, yaitu bisa terhadap pemeliharaan anak atau hak hadhonah. Masalah lain yang juga cukup pelik adalah masalah pemberian nafkah, yaitu sampai kapankah suami wajib memberikan nafkah terhadap mantan istri setelah mereka bercerai? Apabila talak tersebut datang dari pihak suami, maka suami wajib menafkahi istri sampe masa iddhah nya selesai. Dalam hal talak, maka salah satu pihak dapat mengajukan tuntutan mengenai hak haddhonah dan juga mengenai harta secara bersamaan.
Permasalahan unik lainnya dalam Pengadilan Agama adalah apabila pasangan suami sitri menikah secara Islam. Namun ditengah bahtera rumah tangga, mereka pindah agama. Beberapa tahun kemudian mereka bercerai. Kembali kepada UU Perkawinan UU No.1 Tahun 1974 UU Perkawinan serta merujuk kembali pada UU NO. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah diatur secara lex specialis bahwa pengadilan agama menyelesaikan menerima menyelesaikan dan memeriksa serta menyelesaikan perkara-perkara khususnya tentang masalah berkaitan perceraian yang dilakukan pernikahannya secara agama Islam. Sehingga walaupun di tengah perkawinan mereka telah pindah agama dan memutuskan untuk bercerai, maka perkara perceraian tersebut diselesaikan di Pengadilan Agama sepanjang pernikahan mereka dilaksanakan secara Islam.
Banyak pasangan yang membuat perjanjian pranikah mengenai pemisahan harta. Biasanya masing-masing pihak baik istri maupun suami membuat perjanjian pranikah yang secara garis besar isinya adalah tidak adanya percampuran harta. Sehingga apabila mereka meutuskan untuk bercerai, maka baik istri maupun suami tetap berhak atas harta yang mereka peroleh selama perkawinan tanpa mengkhawatirkan adanya upaya pengambilalihan oleh pihak lain. Apabila mereka bercerai, maka perjanjian pranikah tersebut dapat langsung dieksekusi, yaitu setelah perkara percerain telah memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap.

E. Kesimpulan.
Mendasarkan pada hasil pembahasan tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa menurut hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974, perceraian adalah salah satu sebab putusnya perkawinan. Perceraian tidak hanya berakibat pada pasangan itu saja, tetapi akan berakibat pula pada pemeliharaan anak, harta bersama dan masalah pemberian nafkah.
Pada saat ini, banyak masyarakat yang tidak mengetahui tata cara perceraian menurut hukum Islam. Masyarakat hanjya mengetahui adanya talak 1, talak 2 dan talak 3 saja tanpa mengetahui dengan jelas maksud dari semuanya itu.

Teori Hukum Pidana

Dalam Istilah umum Hukuman adalah untuk segala macam sangsi baik perdata, administrative, disiplin dan pidana. Menurut bahasa Belanda untuk menyebut istilah hukuman dan pidana adalah straf, sedangkan di Indonesia straf menpuyai makna ganda yang harus dipisahkan yaitu istilah hukuman dan istilah pidana, sedang istilah pidana itu sendiri adalah berkaitan dengan hukum pidana.
Pidana sendiri di Indonesia adalah karakteristik yang membedakan dengan hukum perdata sedangkan hukuman adalah sangsi atau konsekuensi bagi pelanggar hukum pidana atau perdata. Tujuan pidana tidak harus dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan. Dalam pengertian pidana dan tindakan ( maatregel) harus bisa dibedakan.


Golongan teori pidana

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :

1) Teori Relatif atau tujuan ( doeltheorien )

Teori ini mencari mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya, yaitu untuk mencegah terjadinya kejahatan.Pidana ini biasanya membuat seseorang takut, memperbaiki atau membinasakan. Bentuk tertua pencegahan umum dipraktekkan sampai revolusi Prancis, biasanya dilakukan dengan menakuti orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkanan, kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputu kan itu dipertontonkan didepan umum dengan sangat ganasnya agar supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya yang akhirnya muncul sebutan adogium latin ( neon prudens punit,quia peccantum, sed net peccetur ) supaya kalayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya didepan umum.

2) Teori Absolut atau teori pembalasan ( vergeldingstheorien )

Teori ini muncul pada akhir abad ke 18 dianut antara lain oleh imanuel kant, Hegel, Herbart, para sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat katolik dan para sarjana hukum islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran Al-quran. Teori absolut mengatakan bahwa pidana tidak lah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur – unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada karena dilakukan suatu kejahatan. Tidak perlu memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu karena setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana pada pelanggaran.
Oleh karena itu teori ini disebut teori absolut karena pidana merupakan tuntutan mutlak bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, hakikat suatu pidana adalah pembalasan.

3. Teori gabungan ( verenigingsthrorien)

Teori gabungan antara pembalasan dan pencegahan beragam pula, ada yang menitik beratkan pada pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prefensi seimbang :

1). Menitik beratkan pada unsur pembalasan dianut antara lain oleh Pompe,
Pompe mengatakan orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang pidana dapat dibedakan dengan saksi-saksi lain tetapi tetap ada cirri-cirinya, tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu saksi dan dengan demikian terikat dengan tujuan saksi-saksi itu. Dan karena itu hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan : pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat. ( diterjemahkan dari kutipan Oemar
Seno Adji-1980).
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap- tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana,Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukikan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zevenbergen yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah.

2). Teori gabungan yaitu yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat.
Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya. Dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.

Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik – delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana adalah melindungi kesejahteraan masyarakat. Dalam rancangan KUHP nasional telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana yaitu :

1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hokum demi pengayoman masyarakat.

2. mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna.

3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan olah tindakan pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana ( pasal 5 ).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum dalam rancangan KUHP tersebut merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prefensi, koreksi kedamaian dalam masyarkat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana ( mirip dengan expiation ).

Tujuan Pidana

Tujuan pidana adalah reformation, restraint, retribution dan deterrence.
Reformasi mempunyai arti memperbaiki atau merubah orang yang melakukan kejahatan menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan aman jika tidak ada orang yang melakukan kejahatan dan tidak ada kerugian jika orang jahat berubah menjadi baik. Reformasi harus dibarengi dengan tujuan lain seperti pencegahan.

Restraint adalah mengasingkan pelanggaran dari masyarakat, dengan tersingkirnya pelanggaran hokum dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman, jadi ada juga kaitannya dengan system reformasi. Jika dipertanyakan berapa lama terpidana harus diperbaiki dipengasingan dalam penjara. Masyarakat memerlukan perlindungan fisik dari perampokan bersenjata dan penodong daripada orang yang melakukan penggelapan.

Retribution adalah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan kejahatan.

Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga si terdakwa sebagai individu maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera dan takut melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Teori tentang tujuan pidana semakin hari semakin menuju kearah system yang lebih manusiawi dan lebih rasional. Perjalanan system pidana menunjukkan bahwa retribution atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Hal ini masih bersifat primitive tetapi kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini.

yang dipandang tujuan berlaku sekarang ialah variasi dari bentuk-bentuk penjeraan ( detterent ) baik ditujukan kepada pelanggar hokum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat, perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat, perbaikan (reformasi) kepada penjahat.