THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 19 Maret 2011

Hukum Pidana

Top of Form
Bottom of Form

Hukum Pidana
Pengertian Hukum Pidana
Serangkaian norma dan aturan yang berisi perintah dan larangan serta keharusan dan diancam sanksi istimewa bagi siapa yang melanggarnya.
Sanksi istimewa: Dapat dipaksakan berlakunya oleh negara melalui aparat penegak hukum.
n Menentukan perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi
n Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar dapat dikenai sanksi pidana
n Menentukan cara bagaimana sanksi itu dapat dikenakan

Jenis-jenis Hukum Pidana
n Materiel ~ Formil
n Umum ~ Khusus
n Dikodifikasikan ~ Tidak Dikodifikasikan
n Nasional ~ Lokal
n Tertulis ~ Tidak Tertulis
n Internasional ~ Nasional
n HP Obyektif (ius poenale) ~ HP Subjektif (ius puniendi)
Fungsi Hukum Pidana
Melindungi kepentingan hukum orang/masyarakat/negara dari perbuatan-perbuatan yang hendak menyerangnya, dengan cara mengancam dengan sanksi berupa pidana (=nestapa) bagi orang lain.
Karena demikian, hukum pidana harus dianggap sebagai ultimum remidium (obat terakhir jika hukum lain tak mampu).

Tujuan Hukum Pidana
Untuk melindungi masyarakat dan meningkatkan kewibawaan pemerintah dengan jalan memberantas kejahatan dan pelanggaran sebagai penyakit masyarakat agar ketertiban, keamanam dan ketenteraman dapat terwujud.
n Aliran klasik (Beccaria, JJ Rousseau, Montesquieu): melindungi individu dari kekuasaan penguasa
n Aliran modern: melindungi individu/masyarakat dari kejahatan
Letak Hukum Pidana
Hukum Pidana terletak pada wilayah Hukum Publik.
Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan orang perseorangan.

Hukum Pidana Materil di Indonesia
n Sumber utama: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
n Berlaku di Indonesia sejak tahun 1946 (setelah kemerdekaan RI) dengan UU Nomor 1 Tahun 1946.
n Merupakan warisan kolonial Belanda yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918.
n Sumber lain: UU yang dibuat oleh RI (Korupsi, Lalu Lintas, Narkotika, Psikotropika, Terorisme, dll)
Sejarah Pembentukan KUHP
1. Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland dibuat : 1795, berlaku : 1809-1811
2. Code Penal (Perancis, Napoleon Bonaparte) berlaku 1811-1886
3. Wetboek van Strafrecht Nederlansch dibuat : 1881, berlaku : 1886
4. Wetboek van Strafrecht Nederlansch Indie (WvSNI) berdasarkan asas konkordansi dari WvSN Koninklijk Besluit (Titah Raja) No. 33, 15 Oktober 1915, berlaku : 1 Januari 1918
5. Wetboek van Strafrecht (WvS) dapat dibaca “KUHP” UU No. 1/ 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia diperkuat UU No. 73/1958 yang memberlakukan UU No. 1/ 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia
Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
Tahun Peristiwa
1810 Code Penal diberlakukan di Perancis
1811 Code Penal diberlakukan di Belanda
1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda
1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda
1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda
1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda
1915 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda
1918 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda
1946 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia

Sistematika KUHP
1. Buku I : Aturan Umum (Pasal 1-103, Bab I-IX)
2. Buku II : Kejahatan (Pasal 104-488, Bab I-XXXI)
3. Buku III : Pelanggaran (Pasal 489-569, Bab I-IX)
4. Hukum Pidana Khusus (Aturan-aturan Pidana dalam UU di Luar KUHP: UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Terorisme, UU HAM, UU KDRT, dll)

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Pembarharuan Hukum Pidana adalah suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Alasan :
• politis
• sosiologis
• praktis
• adaptif











KESALAHAN (SCHULD)
Gradasi kesengajaan
1. Ssengaja sebagai niat, maksud, dan tujuan
2. Sengaja insaf akan kepastian
3. Sengaja insaf karena kemungkinan

1. SEJARAH HAP
Latar belakang yang melandasi munculnya KUHAP
HIR yang hanya
- mengatur tentang landraad dan raad van justitie
UUD
-
Pengakuan
- HAM
Jaminan bantuan hukum dan ganti rugi
-
2. TUJUAN HAP
Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil.
Kebenaran materiil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.
3. ASAS HAP
1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
2. Presumption of innocent
3. Equality before the law
4. Pengadilan terbuka untuk umum kecuali diatur UU
5. Sidang pengadilan secara langsung dan lisan
6. Asas Akusatoir bukan Inkusatoir (pelaku sebagai subjek bukan objek)
7. Asas Legalitas dan Oportunitas (sebagai pengecualian)
8. Tersangka/ terdakwa wajib mendapatkan bantuan hukum
9. Fair Trial (pengadilan yang adil dan tidak memihak)
10. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap
11. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dengan perintah tertulis
12. Ganti rugi dan rehabilitasi
13. Persidangan dengan hadirnya terdakwa
ASAS TERSEBUT MUNCUL KARENA ADANYA BEBERAPA PRANATA BARU DALAM KUHAP, DIANTARANYA ADALAH
Terjaminnya HAM
-
Bantuan Hukum pada semua
- tingkat pemeriksaan
Batas waktu penangkapan dan penahanan
-
- Ganti kerugian dan rehabilitasi
Pra peradilan
-
Pra penuntutan
-
- Penggabungan perkara berkaitan dengan gugatan ganti kerugian
Upaya
- hukum (perlawanan sampai dengan PK)
Koneksitas
-
Hawasmat
- (hakim, pengawas, pengamat)
4. PIHAK-PIHAK DALAM HAP.
A. PENYELIDIK DAN PENYIDIK
Menurut pasal 1 angka 4 KUHAP
Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan
WEWENANG PENYELIDIK (5 KUHAP)
1. Menerima laporan/ pengaduan dari sesorang tentang adanya tindak pidana
2. Mencari keterangan dab barang bukti
3. Memeriksa seseorang yang dicurigai
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
ATAS PERINTAH PENYIDIK
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik
Menurut pasal 1 angka 1 KUHAP
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan
WEWENANG PENYIDIK
1. Menerima laporan/ pengaduan dari sesorang tentang adanya tindak pidana
2. Melakukan tindakan pertama di TKP
3. Memeriksa seseorang yang dicurigai
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara
9. Mengadakan penghentian penyidikan
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

B. JAKSA DAN PENUNTUT UMUM
Menurut pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Menurut pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim
C. HAKIM
Menurut pasal 1 angka 8 KUHAP:
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
D. TERSANGKA, TERDAKWA DAN TERPIDANA
Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (pasal 1 angka 13 KUHAP)
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (pasal 1 angka 14 KUHAP)
Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh keputusan hukum tetap (pasal 1 angka 32 KUHAP)
HAK-HAK TERSANGKA/ TERDAKWA
Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke
- pengadilan dan diadili
Hak untuk mengetahui dengan jelas dengan
- bahasa yang dimengerti tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan
Hak untuk memberikan keterangan secara bebas
-
Hak
- untuk mendapat juru bahasa
Hak untuk mendapat bantuan hukum
-
- Hak untuk menghubungi perwakilan negaranya (WNA)
Hak untuk
- mengubungi dokter
Hak untuk memberitahu keluarga
-
Hak untuk
- dikunjungi keluarga
Hak untuk mengadakan surat menyurat dengan
- penasihat hukumnya
Hak untuk mengajukan saksi dan ahli
-
Hak
- untuk menghubungi dan menerima kunjungan kerohanian
Hak untuk
- menuntut ganti rugi
D. SAKSI
Menurut pasal 1 angka 26 KUHAP
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.
5. SUMBER TINDAKAN DALAM HAP
PROSES HUKUM ACARA PIDANA
IMAGE…
TINDAKAN YANG DILAKUKAN OLEH POLISI DIDASARKAN PADA BEBERAPA SUMBER:
- Laporan
Pengaduan
-
Tertangkap tangan
-
Diketahui sendiri
- oleh petugas
PERBEDAAN LAPORAN DAN PENGADUAN

6. PROSES AWAL DALAM HAP (SEBELUM DILIMPAHKAN KEKEJAKSAAN)
A. PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
Menurut pasal 1 angka 5 KUHAP
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagi tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam UU ini
Menurut pasal 1 angka 2 KUHAP
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya
B. PENANGKAPAN DAN PENAHANAN
Menurut pasal 1 angka 20 KUHAP
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini
Menurut pasal 1 angka 21 KUHAP
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini
SYARAT PENAHANAN
1. SYARAT SUBJEKTIF (PASAL 21 AYAT 1)
a. kekhawatiran tersangka/ terdakwa akan melarikan diri
b. kekhawatiran tersangka/ terdakwa merusak/ menghilangkan barang bukti
c. kekhawatiran tersangka/ terdakwa mengulangi perbuatannya kembali
2. SYARAT OBJEKTIF
a. tindak pidanya yang dilakukan diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih
b. kurang dari 5 tahun akan tetapi dikecualikan oleh UU, pasal 21 ayat (4) KUHAP.
JENIS-JENIS TAHANAN
1. TAHANAN RUTAN
2. TAHANAN RUMAH
3. TAHANAN KOTA
BATAS WAKTU PENAHANAN

C. PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN
Penggeledahan Rumah
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini (pasal 1 angka 17 KUHAP)
Penggeledahan Badan
Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita (Pasal 1 angka 18 KUHAP)
Menurut pasal 1 angka 16 KUHAP
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan
7. PRA PERADILAN
Menurut pasal 1 huruf 10 KUHAP
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UU ini, tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan pengadilan
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabiltasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini (pasal 1 angka 22 KUHAP)
Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini (pasal 1 angka 23 KUHAP)
1. PROSES PENUNTUTAN DI KEJAKSAAN
Setelah pemeriksaan di tingkat kepolisian/ penyidik dirasa lengkap, kasus dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan proses penuntutan.
Pelimpahan perkara dilengkapi dengan berkas perkara, tersangka dan alat bukti lainnya.
Apabila dalam waktu 7 hari tidak ada pemberitahuan dari kejaksaan, maka berkas dinyatakan P-21 dan siap dilakukan penuntutan. Akan tetapi jika berkas dirasa kurang lengkap, maka berkas dikembalikan dengan dilengkapi saran tentang kekurangan. Penyidik diberikan waktu selama 14 hari untuk melengkapi berkas, jika melewati batas waktu itu,penyidikan dapat dihentikan.
PENYUSUNAN SURAT DAKWAAN
Surat dakwaan adalah suatu akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan (M. Yahya Harahap; 1993:414-415)
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM MENYUSUN SURAT DAKWAAN
sesuai dengan BAP
-
- menjadi dasar hakim
bersifat sempurna dan mandiri
-
SYARAT-SYARAT DAKWAAN
1. Syarat Formil
Identitas terdakwa (143
- ayat (2) KUHAP), nama lengkap, tepat lahir, umur/ tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
- Tanggal dibuat
Tandatangan PU
-
2. Syarat Materiil
- Dirumuskan secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa (143 (2) huruf b)
Disebutkan locus dan
- tempus delictie
SIFAT SEMPURNA SURAT DAKWAAN
Dapat Dibatalkan
Jika syarat formil tidak dipenuhi
Batal Demi Hukum
Jika syarat materiil tidak dipenuhi
Dianggap tidak memenuhi syarat materiil jika:
Dakwaan kabur (obscuur libelen)
-
dianggap kabur karena unsur-unsur tindak pidana tidak diuraikan atau terjadi percampuran unsur tindak pidana
Berisi pertentangan antara satu
- dengan yang lainnya
terdakwa didakwa turut serta (medepleger) dan turut membantu (medeplecteheid)
BENTUK-BENTUK SURAT DAKWAAN

1. Tunggal (satu perbuatan saja)
misalnya pencurian biasa (362 KUHP)
2. Alternatif
saling mengecualikan antara satu dengan yang lainnya, ditandai dengan kata
“ATAU”…
misalnya pencurian biasa (362 KUHP) atau penadahan (480 KUHP)
Alternatif bukan kejahatan perbarengan
3. Subsidair
diurutkan mulai dari yang paling berat
- sampai dengan yang paling ringan
digunakan dalam TP yang berakibat
- peristiwa yang diatur dalam pasal lain dalam KUHP.
contoh. Lazimnya
- untuk pembunuhan berencana menggunakan paket dakwaan primer: 340, subsidair: 338, lebih subsidair: 355, lebih subsidair lagi 353.
4. Kumulatif
141 KUHAP:
Beberapa tindak pidana dilakukan satu
- orang sama
Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut
-
- Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan
Bentuk dakwaan Kumulatif
1. Berhubungan dengan concursus idealis/ endaadse samenloop
perbuatan dengan diancam lebih dari satu ancaman pidana. (63 (1)KUHP)
misal: pengendara mobil menabrak pengendara sepeda motor berboncengan satu meninggal (359) dan satu luka berat (360)
2. Berhubungan dengan perbuatan berlanjut (vorgezette handeling)
Perbuatan pidana yang dilakukan lebih dari satu kali
misal perkosaan terhadap anak dibawah umur (287) dilakukan secara berlanjut (64 (1) KUHP)
3. Berhubungan dengan concursus realis/ meerdadse samenloop (65 KUHP)
- melakukan beberapa tindak pidana
Pidana pokoknya sejenis
-
- Pidana pokoknya tidak sejenis
Concursus kejahatan dan pelanggaran
-
- Gabungan antara alternatif dan subsidair
misal: pembunuhan
- berencana (340) ketahuan orang sehingga membunuh orang tersebut (339), mengambil kendaraan orang yang dibunuh tersebut (362)
4. Gabungan TP khusus dan TP umum.
Kumulatif penganiayaan dan KDRT.
PROSES PENYUSUNAN SURAT DAKWAAN
A. VOEGING
Voeging adalah penggabungan berkas perkara dalam melakukan penuntutan, dan dapat dilakukan jika (pasal 141 KUHAP):
a. beberapa tindak pidana;
b. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang atau lebih;
c. belum diperiksa dan akan diperiksa bersama.
B. SPLITSING
Selain penggabungan perkara, PU juga memiliki hak untuk melakukan penuntutan dengan jalan pemisahan perkara (142 KUHAP). Splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan PU.
Dalam perkembangannya, penuntutan dapat dihentikan oleh JPU dengan beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang dimaksud adalah sesuai dengan bunyi pasal 140 ayat (2) KUHAP, yaitu:
karena tidak cukup bukti
-
- peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
perkara ditutup
- demi hukum
2. PROSES PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN
JENIS-JENIS ACARA PEMERIKSAAN
A. Acara Pemeriksaan Biasa (152-202 KUHAP)
B. Acara Pemeriksan Singkat/ sumir (203 KUHAP), kategorinya untuk perkara pelanggaran non pasal 205 KUHAP.
C. Acara Pemeriksan Cepat/ Roll biasanya berhubungan dengan TP ringan dan Pelanggaran lalu lintas. (205 KUHAP). Kategorinya adalah pidana kurungan paling lama 3 bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500,-. Perbedaan mendasar antara acara pemeriksaan singkat dan cepat adalah, untuk acara pemeriksaan singkat tetap menggunakan JPU sedangkan acara pemeriksaan cepat langsung penyidik dengan hakim tunggal.
PRINSIP PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN
Terbuka untuk umum kecuali kesusilaan dan anak
-
TP
- khusus dimungkinkan secara Inabsentia (pasal 154 ayat (4) KUHAP)
- Pemeriksaan secara langsung dan lisan
Berjalan secara bebas tanpa
- adanya intervensi
TAHAPAN PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN
SIDANG PERTAMA
Pemeriksaan Identitas Terdakwa (155)
-
Memperingatkan
- terdakwa untuk memperhatikan dan memberikan nasihat (155)
Pembacaan
- Surat Dakwaan
Menanyakan apakah terdakwa mengerti isi dakwaan
-
- Hak mengajukan Eksepsi/ keberatan
EKSEPSI
Eksepsi adalah keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya atas dakwaan PU.
Dasar alasan eksepsi:
1. PN tidak berwenang mengadili
KEWENANGAN MENGADILI
A. KOMPETENSI ABSOLUT
Kewenangan mutlak yang dimiliki oleh pengadilan dalam mengadili perkara berhubungan dengan jenis perkara. PN, PA, PTUN dan PM
B. KOMPETENSI RELATIF
Kewenangan relatf yang dimiliki oleh lembaga pengadilan sederajat dalam hal daerah hukum.
2. Dakwaan tidak dapat diterima
Ne bis in idem
-
- Daluwarsa
3. Meminta surat dakwaan dibatalkan
4. Surat dakwaan diubah tanpa pemberitahuan
Dakwaan atau salinan surat dakwaan harus diterima oleh terdakwa/ penasihat hukumnya paling lambat 7 hari sebelum sidang. Surat dakwaan dapat diubah dengan ketentuan (144 KUHAP):
a. 7 hari sebelum sidang
b. perubahan hanya satu kali
c. salinan perubahan harus diberikan kepada terdakwa/ penasihat hukumnya
SIDANG LANJUTAN
Jawaban atas keberatan terdakwa oleh PU
-
Putusan sela
- atas eksepsi
Putusan sela berisi tentang:
a. eksepsi diterima, maka persidangan dihentikan
b. eksepsi ditolak, maka persidangan dilanjutkan.
Terhadap putusan sela dapat dilakukan upaya hukum yang disebut dengan VERZET atau perlawanan. Perlawanan diajukan setelah putusan pemidanaan.
Pemeriksaan alat bukti.
-
MACAM-MACAM ALAT BUKTI:
Menurut pasal 184 KUHAP :
1. Keterangan saksi
- Menjadi saksi adalah kewajiban semua orang, kecuali dikecualikan oleh UU.
Menghindar sebagai saksi dapat dikenakan pidana (Penjelasan
- pasal 159 (2) KUHAP)
KETENTUAN SEBAGAI SAKSI (185 KUHAP):
- Melihat sendiri
Mengalami sendiri
-
Mendengar sendiri
-
Bukan
- anggota keluarga terdakwa sampai derajat ketiga, keluarga ayah atau ibu, suami/istri (walaupun sudah cerai)
Karena jabatannya
- diwajibkan menyimpan rahasia
TATA CARA PEMERIKSAAN SAKSI
- Saksi dipanggil satu persatu menurut urutan sebaiknya o/ hakim. Korban first. (160 (1)
Memeriksa identitas
-
Saksi wajib mengucapkan
- sumpah (160 ), di dalam sidang/ diluar (233). Tidak sumpah = sandera/ dianggap keterangan biasa (161)
Keterangan berbeda dengan BAP.
- Hakim wajib mengingatkan (163)
Terdakwa dapat membantah atau
- membenarkan keterangan saksi (164(1)
Kesempatan mengajukan
- pertanyaan (164)
Larangan mengajukan pertanyaan yang bersifat
- menjerat (166)
Saksi tetap dihadirkan di sidang (167) atau
- ditentukan lain (172)
Pemeriksaan saksi tanpa hadirnya terdakwa
- (173)
SYARAT SAH KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI
- Disumpah
Mengenai perkara yang dilihat, didengar, dialami serta
- alasan pengetahuannya.
Harus didukung alat bukti lainnya
-
- Persesuaian antara keterangan dengan lainnya
2. Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah apa yang seseorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan (186 KUHAP)
Keterangan ahli dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa surat (visum et repertum yang dijelaskan oleh seorang ahli)
3. Surat
Prof. Pitlo, Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran.
Menurut pasal 187 KUHAP yang termasuk surat adalah:
a. Berita acara dan surat resmi lainnya yang dibuat oleh pejabat umum
b. Surat keterangan dari seorang ahli
c. Surat lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana
4. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (188)
Petunjuk hanya diperoleh dari :
a. Keterangan saksi
b. Surat
c. Keterangan terdakwa
5. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan sendiri atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (189)
Prinsip keterangan terdakwa
a. Tidak mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat (pasal 166 KUHAP)
b. KUHAP tidak menganut asas The Right to Remain in Silence (Pasal 175 KUHAP)
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab
Sebelum berlakunya pasal ini, alat bukti yang ada dalam Nederland Sv pasal 339 adalah:
1. Eigen Waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim)
2. Verklaring van de verdachte (keterangan terdakwa)
3. Verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi)
4. Verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli)
5. Schriftelijke bescheiden (surat-surat)
Sedangkan pada masa HIR, alat buktinya adalah (295 HIR):
1. Kesaksian-kesaksian
2. Surat-surat
3. Pengakuan
4. Isyarat-isyarat/ petunjuk
KEKUATAN PEMBUKTIAN
Urutan dalam pasal 184 KUHAP bukan merupakan urutan kekuatan pembuktian.
Kekuatan pembuktian terletak dalam pasal 183 KUHAP dengan asas Unus testis nullus testis
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim.
PEMBAHARUAN ALAT BUKTI DALAM KUHAP
a. Saksi ahli perlu ada standarisasi seperti apa ahli itu. Contoh kasus Tjandra Sugiono, Mas Wigantoro ahli dalam bidang telematika ditolak sebagai ahli karena tidak bisa menunjukkan sertifikat ahlinya, sedangkan Prof. Loebby Loqman dapat sebagai ahli tanpa pengesahan.
b. Alat bukti surat perlu diubah menjadi dokumen (UU pembuktian Malaysia: luas termasuk kaset dan video)
c. Petunjuk: Belanda mengenal eigen waarneming van de rechter sedangkan Amerika mengenal judicial notice yang artinya pengamatan hakim. Prinsipnya sama ditambah dengan pengakuan barang bukti.
Pembacaan tuntutan oleh PU
-
Berbeda dengan surat dakwaan, surat tuntutan adalah sebuah nota atau surat yang disusun berdasarkan fakta yang diperoleh dari pemeriksaan persidangan, sehingga dasar tuntutan pidana sesungguhnya merupakan kesimpulan yang diambil oleh penuntut umum terhadap fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
ISI TUNTUTAN PIDANA
Tuntutan pidana secara garis besar harus memuat:
a. surat dakwaan
b. pemeriksaan di persidangan (pemeriksaan alat bukti)
c. fakta-fakta persidangan
d. pembuktian
e. tuntutan pidana
- Pembelaan (pledooi)
Pledooi adalah pembelaan yang bersifat lisan atau tertulis baik dari terdakwa maupun dari penasihat hukumnya berkenaan dengan tuntutan PU
Pledooi bisa dijawab oleh PU disebut dengan REPLIK dan bisa dijawab untuk satu kali lagi oleh terdakwa atau penasihat hukumnya disebut DUPLIK
Replik dan duplik
-
- Musyawarah hakim
TEORI PEMBUKTIAN
1. Conviction-in time (berdasarkan keyakinan hakim saja)
2. Conviction-rasionee (keyakinan didukung oleh alasan yang jelas)
3. Menurut UU secara positif
- Sistem bebas
Sistem positif
-
Sistem negatif (gabungan)
-
4. Berdasarkan UU secara negatif (keyakinan dan alasan yang logis)
5. KUHAP (sistem negatif)
Putusan Pengadilan
-
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini. (pasal 1 butir 11 KUHAP)
JENIS-JENIS PUTUSAN
1. Putusan bebas (Vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP
Tidak terbukti adanya kesalahan
-
- Tidak adanya 2 alat bukti
Tidak adanya keyakinan hakim
-
Tidak
- terpenuhinya unsur tindak pidana
2. Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle) pasal 191 (2) KUHAP
Terbukti
- tetapi bukan tindak pidana
Adanya alasan pemaaf, pembenar atau
- keadaan darurat
3. Putusan Pemidanaan
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana
Memberitahukan kepada terdakwa
- bahwa memiliki hak untuk menerima, pikir-pikir atau banding
3. UPAYA HUKUM
1. Biasa
Verzet (upaya hukum terhadap putusan
- eksepsi)
Banding (upaya hukum terhadap putusan pemidanaan)
-
Upaya banding dapat diajukan oleh terdakwa/penasihat hukumnya atau oleh PU karena tidak puas dengan putusan PN
Tidak ada pengaturan yang jelas mengenai alasan pengajuan banding.
Pengecualian banding:
a. Putusan bebas
b. Lepas dari segala tuntutan hukum berkenaan dengan kurang tepatnya penerapan hukum
c. Putusan dalam acara cepat
- Kasasi
Menurut perundang-undangan Belanda ada tiga alasan pengajuan kasasi:
a. Terdapat kelalaian dalam hukum acara (vormverzuim)
b. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan
c. Tidak melaksanakan cara melakukan peradilan sesuai undang-undang
2. Luar Biasa
Kasasi demi kepentingan hukum
-
Kasasi demi kepentingan hukum hanya diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum dan tidak merugikan pihak manapun. (259 KUHAP)
Peninjauan Kembali
-
Permintaan PK dapat dilakukan dengan dasar alasan:
a. Keadaan baru (Novum) yang seandainya keadaan itu diketahui pada saat sidang berlangsung dapat menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau meringankan terdakwa
b. Adanya pertentangan alasan antara putusan satu dengan yang lainnya
c. Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata
4. PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN (EXECUTIE)
KUHAP mengatur pelaksanaan putusan pengadilan pasal 270 – 276:
Putusan
- pengadilan dilakukan oleh Jaksa
Pidana mati
-
Pidana
- berturut-turut
Pidana
- denda
Pengaturan barang bukti yang
- dirampas oleh negara
Ganti kerugian
-
Biaya perkara
-
Pidana
- bersyarat
HAWASMAT
Pengawasan dan pengamatan putusan
- pengadilan dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat.
Perancis
- menyebutnya sebagai Juge de l’ application des peines (1959)
- Belanda menyebutnya sebagai Executie rechter
Posted by Te Effendi
Sumber: http://te-effendi-acara.blogspot.com/search?updated-
Pengantar Hukum Indonesia
Materi Hukum Pidana
Disampaikan oleh :
Fully Handayani R.
Pendahuluan
Istilah “Hukum Pidana” menurut Prof. Satochid mengandung beberapa arti atau dapat dipandang dari beberapa sudut, antara lain bahwa Hukum Pidana, disebut juga “Ius Poenale” yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan- larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”. Ius Poenalle
Ius Poenalle ini merupakan hukum pidana
dalam arti obyektif yang terdiri dari:
1. Hukum Pidana Materiil.
Hukum Pidana Materiil berisikan peraturan-
peraturan tentang : perbuatan yang diancam
dengan hukuman ; mengatur pertanggungan
jawab terhadap hukum pidana ; hukuman apa
yang dapat dijatuhkan terhadap orang-orang yang
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang.
Ius Poenalle
2. Hukum Pidana Formil.
Hukum Pidana Formil merupakan sejumlah
peraturan yang mengandung cara-cara negara
mempergunakan haknya untuk mengadili serta
memberikan putusan terhadap seseorang yang
diduga melakukan tindakan pidana.
Hukum Pidana dalam arti Subyektif
Hukum Pidana dalam arti subyektif, yang
disebut juga “Ius Puniendi”, yaitu
“sejumlah peraturan yang mengatur hak
negara untuk menghukum seseorung
yang melakukan perbuatan yang
dilarang”.
Ruang Lingkup Hukum Pidana
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa
yang disebut dengan peristiwa pidana atau delik
ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa
pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum
yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang
mampu bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur peristiwa
pidana, yaitu :
Sikap tindak atau perikelakuan manusia ;
Masuk lingkup laku perumusan kaedah hukum pidana (pasal 1 ayat 1
KUHP) yang berbunyi : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana,
melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”;
Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran ;
Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan
kesalahan.
Sikap Tindak Yang Dapat Dikenai
Sanksi
Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai
sanksi adalah:
1. Perilaku manusia ; Bila seekor singa membunuh seorang
anak rnaka singa tidak dapat dihukum.
2. Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut
melanggar hukum, misalnya anak yang bermain bola
menyebabkan pecahnya kaca rumah orang.
3. Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui
tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum; Dengan
pecahnya kaca jendela rumah orang tersebut tentu
diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan
menimbulkan kerugian orang lain.
4. Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi
sikap tindak tersebut.Orang yang memecahkan kaca
tersebut adalah orang yang sehat dan bukan orang yang
cacat mental.
Dilihat dari perumusannya, maka peristiwa
pidana/delik dapat dibedakan dalam :
1. Delik formil.
Tekanan perumusan delik ini ialah sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya. Misalnya pasal 297 KUHP: “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.
2. Delik materiil.
Tekanan perumusan delik ini adalah akibat dari suatu sikap tindak atau perikelakuan.
Misalnya pasal 359 KUHP : “Barang siapa karena kelalaiannya, menyebabkan matinya seseorang…”
Unsur-unsur perumusan delik, dibedakan
dalam:
1. Delik dasar yang merumuskan suatu sikap tindak atau perilaku yang dilarang, misalnya pasal 338 KUHP yang menyatakan “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”;
2. Delik yang meringankan, yakni merumuskan sikap tindak yang karena suatu keadaan mendapat keringanan hukuman, misalnya pasal 341 KUHP, “Seorang ibu yang karena takut ketahuan melahirkan anak, membunuh anaknya tersebut”,
3. Delik yang memberatkan, yaitu merumuskan sikap tindak karena suatu keadaan diancam hukuman yang lebih berat, misalnya pasal 340 KUHP, ”Barang siapa dengan sengaja
dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu paling lama dua puluh tahun”.
Sumber Hukum Pidana di Indonesia
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Peraturan – Peraturan Tindak Pidana di
luar KUHP, misalnya :
UU TIPIKOR, UU Anti Money Laundering,
UU Lingkungan Hidup, UU Anti Trafficking,
UU Perlindungan Anak, UU KDRT, UU
Perbankan, UU Anti Terorisme, dll.
Berlakunya KUHP
Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium
yang berbunyi : “Nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenali”, artinya
tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum
tanpa ada peraturan yang mengatur
perbuatan tersebut sebelumnya.
Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 1 ayat 1
KUHP yang merupakan asas legalitas.
Asas-Asas Berlakunya KUHP
1.Asas teritorial atau Wilayah.
Undang-undang Hukum Pidana berlaku didasarkan
pada tempat atau teritoir dimana perbuatan dilakukan
(pasal 2 dan 3 KUHP). Pelakunya warga negara atau
bukan, dapat dituntut. Dasar hukum asas ini adalah
kedaulatan negara dimana setiap negara yang
berdaulat wajib menjamin ketertiban hukum dalam
wilayahnya.
Pasal 2 KUHP berbunyi : “Ketentuan pidana dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia diterapkan
bagi setiap orang yang melakukan delik di Indonesia”.
Asas-Asas Berlakunya KUHP
2. Asas Nasionalitas Aktif atau Personalitas.
Berlakunya KUHP didasarkan pada kewarganegaraan atau
nasionalitas seseorang yang melakukan suatu perbuatan.
Undang-undang Hukum Pidana hanya berlaku pada warga
negara, tempat dimana perbuatan dilakukan tidak menjadi
masalah (Pasal 5, 6, 7 KUHP).
Pasal 5 berbunyi “Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang diluar
Indonesia melakukan salah satu perbuatan yang oleh suatu
ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
peraturan perundang-undangan negara dimana perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana”.
Asas-Asas Berlakunya KUHP
3. Asas Nasionalitas Pasif atau Asas
Perlindungan.
Didasarkan kepada kepentingan hukum negara yang
dilanggar. Bila kepentingan hukum negara -dilanggar
oleh warga negara atau bukan, baik di dalam ataupun
di luar negara yang menganut asas tersebut, maka
undang-undang hukum pidana dapat diberlakukan
terhadap si pelanggar. Dasar hukumnya adalah bahwa
tiap negara yang berdaulat pada umumnya berhak
melindungi kepentingan hukum negaranya (Pasal 4
dan 8 KUHP).
Pasal 4 berbunyi : “Ketentuan pidana dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan …diluar Indonesia… pemalsuan
surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan
Indonesia …”.
Asas-Asas Berlakunya KUHP
4. Asas Universalitas.
Undang-undang hukum pidana dapat
diberlakukan terhadap siapa pun yang
melanggar kepentingan hukum dari
seluruh dunia. Dasar hukumnya adalah
kepentingan hukum seluruh dunia (Pasal
4 ayat ( 2, 4)).
Kategorisasi Peristiwa Pidana
Menurut Doktrin, peristiwa pidana dapat
berupa :
Dolus dan Culpa :
Dolus/sengaja adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja agar terjadi suatu
delik. (Pasal 338 KUHP) ;
Culpa/tidak disengaja adalah terjadinya delik
karena perbuatan yang tidak disengaja atau
karena kelalaian. (Pasal 359 KUHP).
Kategorisasi Peristiwa Pidana
Delik Materiil dan Delik formil dalam perumusan delik.
1. Delik materiil yang perumusannya menitikberatkan pada akibat
yang dilarang/diancam pidana oleh undang-undang.
Contoh: Delik materiil yaitu Pasal 360 KUHP berbunyi: “Barang
siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun”.
2. Delik formil yang perumusannya menitikberatkan pada
perbuatan yang dilarang/diancam pidana oleh undang-undang.
Contoh: Delik formil yaitu pada Pasal 362 KUHP berbunyi .
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima tahun pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah”;
Kategorisasi Peristiwa Pidana
Komisionis, Omisionis, dan Komisionis peromisionim
Komisionis adalah Terjadinya delik karena melanggar larangan.
Omisionis adalah terjadinya delik karena seseorang melalaikan
suruhan/tidak berbuat.
Contoh : Pasal 164 KUHP yang berbunyi : awas “Barang siapa mengetahui ada sesuatu
permufakatan untuk kejahatan … sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan
mencegah
sengaja tidak segera memberitahukan tentang itu kepada… dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan
dipidana
dengan pidana penjara….
Komisionis peromisionim yaitu tindak pidana yang pada umumnya
dilaksanakan dengan perbuatan, tapi mungkin terjadi pula bila tidak
berbuat.
Contoh : Pasal 341 KUHP yang berbunyi : “Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat
anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh
merampas
anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
tahun”
Kategorisasi Peristiwa Pidana
Without victim dan With victim.
Without victim ialah delik yang dilakukan
tanpa adanya korban.
With victim ialah delik yang dilakukan
dengan adanya korban.
Sistematika Peristiwa Pidana
Ketentuan sekarang membagi peristiwa
pidana dalam :
Kejahatan ancaman pidana lebih berat ;
dan
Pelanggaran
Buku I KUHP membedakan kejahatan dan
pelanggaran dalam hal :
Percobaan (poging) atau membantu
(medeplichtigheid) untuk pelanggaran tindak
dipidana ;
Daluwarsa/verjaring, bagi kejahatan lebih lama
daripada pelanggaran ;
Pengaduan/klacht, hanya ada terhadap
beberapa kejahatan tapi tidak ada pengaduan
pada pelanggaran ;
Pembarengan/samenloop, peraturannya
berlainan untuk kejahatan dan pelanggaran.
Subyek Hukum Pidana
1. Penanggung jawab peristiwa pidana ;
2. Polisi ;
3. Jaksa ;
4. Penasehat Hukum ;
5. Hakim ;
6. Petugas Lembaga Pemasyarakatan.
Sumber : repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/1643.pdf
Posted in 17 Hukum Pidana | Leave a Comment »
Tanya Jawb Hukum Pidana (asiamaya.com)
Posted by mujiburrahman on November 14, 2008
Ini tentang hukum pidana dan ini soal soalnya.. oke.. met menikmati
1. 1. Apakah hukum pidana mati masih diperlukan ? 2. Apakah pelaksanaan pidana mati ini menghambat penegakan HAM di Indonesia karena HAM melarang adanya pidana mati dan menganggap sbg tindakan pelanggaran HAM ? (Jawaban)
2. 1.Siapa yang harus bertanggung jawab atas perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan yang menurut undang-undang, sebenarnya tidak atau belum mampu bertanggung jawab. 2. Bagaimana keputusan yang dapat dijatuhkan hakim terhadap pelaku suatu tindak pidana apabila ybs masih dibawah umur (belum mencapai 16 tahun).(Jawaban)
3. Saya ingin bercerita sedikit tentang permasalahan ini. Perselingkuhan ini tidak dapat dibuktikan dengan sesuatu benda,tetapi dapat dilihat dengan mata.Namun orang yang melihat perselingkuhan tersebut tidak mau dijadikan saksi mata (maklum orang desa, takut ikut bermasalah). Dan perselingkuhan ini sudah berlangsung lama dan hampir bukan rahasia lagi. Dan keadaan ini sudah dilaporkan ke atasan laki.Tetapi atasannya malah menekan korban agar tidak memperpanjang permasalahannya(mungkin sudah diganjal “fulus”). Jadi sekarang korban bingung harus bertindak bagaimana. Maka kami mohon pada pengasuh langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk menjerat secara hukum. Mengingat korban sudah lama menderita. (Jawaban)
4. 1. Apakah yang dimaksud dengan Visum et Repertum ? 2. Untuk kepentingan apakah Visum et Repertum selain sebagai bukti di persidangan. 3. Bagaimana prosedur permintaan Visum et Repertum ? 4. Apakah seorang korban bisa minta Visum et Repertum sendiri ke dokter untuk menuntut pelanggar 5. Untuk apakah fungsi Visum et Repertum ? (Jawaban)
5. Saya mempunyai kesan bahwa hukum di Indonesia kurang keras, dibandingkan dengan hukum di US, saya telah mendengar tentang perkara dimana pencurian hanya di penjara 3 bulan, dan pembunuh keluar dari penjara kurang dari 10 tahun. Saya merasa heran untuk pelanggaran, hukuman mati betul-betul di jalankan. (Jawaban)
6. Saya mohon informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan aborsi lebih khusus lagi mengenai wewenang dokter dan sarana kesehatan yang dipakai dalam praktek aborsi, baik berupa kasus-kasus, peraturan/UU, artikel, dsb. (Jawaban)
ini short but sweet.. tidak capek kopi past soal soal ini.. he he he he he he
Posted in 17 Hukum Pidana, 36 Soal Ujian | Tagged: Hukum, Tanya Jawab, 17 Hukum Pidana | 2 Comments »
Tanya Jawab Hukum Pidana (hukumonline.com)
Posted by mujiburrahman on November 13, 2008
hmmm.. ini juga bagus bagi mereka yanglagi kena kasus.. he he he ini tanya jawab dari hukumonline.com.. mungkin dari ini bisa memberi gambaran apa yang akan di hadapi di lapangan…
1. Meskipun ada pengecualian-pengecualiannya, eksekusi dalam hukum acara pidana maupun perdata, tidak dapat dilakukan jika belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Yang ingin saya tanyakan adalah dimana pengaturan tentang hal tersebut? Selanjutnya, sertifikat tanah yang berada dalam sengketa yang belum diputus apakah masih menjadi milik dari pemilik awal? Pengaturannya bagaimana? Terima kasih banyak.
2. Saya seorang ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai PNS di daerah. Suami saya berprofesi sebagai seorang pelaut. Dari perkawinan kami mempunyai seorang anak yang tinggal bersama orangtua saya di daerah lain. Keluarga saya bisa dikatakan tidak harmonis, kami sangat jarang kumpul, mungkin 2-3 bulan sekali ketemu. Itu pun dengan waktu yang sangat terbatas. Bahkan secara materi pun saya tidak terpenuhi. Memang betul saya dikirimi uang 1-2 bulan sekali oleh suami. Namun apabila ada keperluan keluarganya (orang tua dan adik-adik suami saya) saya harus kirimkan kembali uang tersebut, hampir-hampir saya tidak pernah merasakan hasil kerjanya. Bahkan dia pernah meminta saya untuk mengambil kredit di bank untuk kepetingan orangtuanya, dan sampai sekarang saya harus menanggung hutang tersebut. Pada intinya saya tidak pernah merasakan kepuasan batin dan materi. Namun semua itu saya tutupi dan tetap bersikap baik terhadap suami saya. Demikian sedikit tentang latar belakang keluarga saya. Semua masalah ini berawal dari saya mengenal seseorang setahun yang lalu, sebut saja Hari, seorang bujangan yang juga berprofesi sebagai PNS. Saya simpatik kepadanya dan perasaan simpatik itu berubah menjadi perasaan suka. Singkat cerita kami saling suka dan pernah melakukan hubungan badan. Empat bulan berjalan, saya sadar apa yang saya lakukan itu salah, karena saya memiliki suami, dan saya memiliki rumah tangga. Inilah kebodohan saya. Maksud hati ingin memperbaiki kesalahan dengan mengaku kepada suami bahwa saya telah menjalin hubungan dengan Hari. Tapi iktikad baik saya itu malah menjadi petaka bagi saya. Pada November 2007 lalu suami saya melaporkan saya dan Hari ke Polisi, dan kami dijerat dengan pasal 284 dengan dasar pernyataan saya dan dengan saksi tetangga yang sering melihat Hari berkunjung ke rumah saya. Laporan pun diproses polisi. Satu bulan berjalan, atas kesepakatan keluarga, suami saya bersedia mencabut laporannya. Sehari sebelumnya, suami saya menelepon ke polisi bahwa akan mencabut laporannya. Namun ketika suami saya datang ternyata berkas sudah dilimpahkan ke Kejaksaan dan langsung ditangani oleh seorang Jaksa. Polisi yang menangani bilang bisa saja dicabut walaupun sudah dilimpahkan. Suami saya membuat surat pernyataan pencabutan bermaterai 6000, satu diserahkan kepada saya (sampai sekarang masih saya pegang) dan yang satu diserahkan kepada Jaksa. Tapi jaksa menolak dan membujuk suami saya untuk membatalkan pencabutan laporan dan tetap melanjutkannya ke persidangan dengan alasan yang tak logis dan membakar emosi suami saya. Jaksa bilang kepada saya dan suami bahwa sidang satu kali saja dan selesai. Jadi tidak perlu dicabut. Sidang berjalan, saya dan Hari yang awam dan tidak mengerti tentang hukum mengikuti persidangan tanpa didampingi penasehat hukum. Di persidangan saya dan Hari mengaku bersalah dan menyesal, kami sangat malu, malu dengan keluarga, teman dan di masyarakat. Menurut kami itulah hukuman yang paling berat bagi kami. Sidang kedua berlanjut, saya dan Hari mulai merasa aneh. Seminggu sebelum sidang Tuntutan, Hari dipanggil Jaksa, dan sangat mengejutkan Hari dimintai sejumlah uang yang bagi kami lumayan besar jumlahnya dan tidak sanggup kami siapkan dalam waktu singkat, alasan Jaksa itu adalah “harga PNS itu mahal”, apabila hukumannya 6 bulan atau lebih maka kami akan dipecat dari pekerjaan kami. Seminggu berjalan, kami juga tidak bisa menyediakan uang tersebut dan mengaku pasrah kepada Jaksa. Sayangnya untuk ini kami tidak memiliki bukti yang cukup, seandainya saja Hari waktu itu merekam pembicaraanya dengan Jaksa itu. Akhirnya Jaksa menuntut saya berupa kurungan selama 6 bulan dan menuntut Hari dengan kurungan selama 8 bulan (ini sangat aneh, harusnya tuntutannya sama). Sebelum sidang Putusan, saya dan Hari menemui Hakim secara pribadi. Kami ceritakan semuanya dari awal sampai akhir, Hakim mengerti keadaan itu dan ingin membantu. Menurut hakim akan sangat sulit seandainya kami dibebaskan, Jaksa akan melakukan banding. Jalan satu-satunya Hakim menjatuhkan Hukuman yang tinggi, jadi Jaksa tidak banding dan kami yang naik banding. Sidang putusan berjalan, Hakim menjatuhkan hukuman kepada kami masing-masing 5 bulan kurungan. Tapi tidak berhenti sampai di sini. Hakim sudah menjatuhkan lebih dari separuh tuntutan jaksa, namun jaksa tetap mengejar kami dengan ikut naik banding. Dan sampai sekarang prosesnya masih sampai pengajuan naik banding. Sekarang suami saya pergi berlayar dengan rute luar negeri, dan masa bodoh dengan urusan ini. Ada yang kami bingungkan, paman Hari seorang polisi mengatakan bahwa kasus kami ini tidak mungkin disidangkan karena akan mengakibatkan perceraian. Tapi buktinya kami tetap disidangkan. Manakah yang benar? Apa yang harus kami lakukan selanjutnya? Apakah langkah-langkah pengajuan banding itu? Apakah memori banding cukup membantu? Apa saja yang perlu saya tulis dalam memori banding? Saya tidak mungkin maafkan tindakan suami saya ini, ini cukup berat bagi saya, sementara keluarga suami saya juga tidak bisa menerima saya lagi. Terhitung sejak bulan November 2007 suami saya tidak pernah menafkahi saya lahir dan batin. Bagaimana jadinya seandainya saya bercerai dengan suami saya dan saya menikah dengan Hari? Apakah kasus ini tetap dilanjutkan? Langkah apa saja yang harus saya lakukan untuk mengajukan tuntutan perceraian? Dalam sidang perceraian apakah saya wajib memberikan uang kasih sayang kepada suami saya? Bagaimana seandainya saya tidak mampu memberikannya apakah sidang perceraian itu dibatalkan? Mengingat sepertinya suami saya hanya ingin menyiksa saya dengan tidak menceraikan saya lalu meninggalkan saya pergi berlayar. Terus terang kami yang awam tentang hukum tidak mengerti dengan keadaan ini, tidak ada tempat saya untuk bertanya. Sebagian besar keluarga saya menyalahkan saya, kami tidak punya muka lagi untuk berada di tempat umum. Sempat saya frustasi dan berfikir yang macam-macam, terus terang saya stres berat. Beruntung Hari orang yang baik, dia tidak meninggalkan saya, kami hadapi masalah bersama, dialah yang mensupport saya hingga saya bisa bertahan sampai sekarang. Pengasuh boleh tidak percaya dengan cerita saya ini, tapi Demi Tuhan inilah yang terjadi pada saya saat ini. Maaf cerita dan pertanyaan saya ini terlalu panjang. Terimakasih sebelumnya.
3. Apakah kepala lembaga pemasyarakatan dapat dikatakan subyek tergugat dalam kasus praperadilan karena tidak mengeluarkan tahanan yang sudah habis masa penahananya?Dan dasar hukumnya? Terimakasih.
4. Apakah boleh bila terdakwa memilih untuk tidak menggunakan penasehat hukum dalam sidang pengadilan pidana dikarenakan ia sendiri adalah seorang pengacara dan ia merasa bisa menjadi penasehat hukum atas dirinya sendiri?
5. Bagaimanakah tata cara peradilan anak, proses hukumnya dan hal apa saja yang akan mengakibatkan seorang anak dapat di adili?
6. Dapatkah diterpkan penerapan pertanggungjawaban pidana berganda antara UU Perlindungan Anak dan UU Narkotika dalam kasus orangtua yang memaksa anaknya menjadi penjual narkotika? Apa dasar argumennya?
7. mohon penjelasanya atas perbedaan hak tersangka & terpidana, dan bagaimana dalam pelaksanaanya. terima kasih!
8. Apakah Lembaga Bantuan Hukum adalah sebuah lembaga yang benar benar Non-Profit? Bagaimana jalan keluarnya untuk mencari “Orang Pintar Hukum” atau Pengacara yang terjangkau oleh saya yang sedang sangat membutuhkan tapi tidak mempunyai biaya untuk membayar pengacara. Terima Kasih.
9. Kenapa setiap ada masalah terhadap kekerasan terhadap wartawan, yang dipakai dipengadilan hanya KUHP, contoh kasus pemukulan wartawan tempo oleh David A Miauw? Padahal Undang-undang Pers No 40 tahun 1999, pasal 18 ayat (1) juga ada pidananya tapi tidak dipakai. Apa dasar menggunakan UU Pers dan apa dasar menggunakan KUHP? bukankah semestinya semua yang berhubungan dengan pers seharusnya juga memakai UU Pers? Apakah wartawan yang terlibat sengketa saat menjalankan tugas dapat sama hukumnya jika wartawan sedang tidak dalam kapasitas menjalankan tugas? Terimakasih
10. Mohon info tentang dasar hukum tentang status dan cara mengadili anggota Polisi yang melanggar hukum, terimakasih.
11. apakah hukuman tambahan dapat diberikan tanpa dikenakan hukuman pokok
12. Pada beberapa waktu yg lalu teman karyawan teman saya melakukan perbuatan melanggar hukum dengan tanpa sepetahuan prosedur perusahaan untuk melakukan pencetakan salah satu pruduk pemerintah, dan mesin cetak disita oleh pihak berwajib, apakah ada kemungkinan mesin tersebut untuk dibebaskan apabila yang bersangkutan telah ditangkap, sebab perusahaannya sudah tidak memungkinkan untuk terus berjalan karena konsumen tidak ada lagi, sedang dia sudah rugi besar dan bermaksud untuk menjual mesin dan menutup usahanya.
13. berkaitan dengan alat-alat bukti yang terdapat dalam hukum acara,mengapa saksi tidak dijadikan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata,padahal dalam hukum acara pidana digunakan? dan adakah dasar hukumnya? terima kasih.
14. 1.Bagaimanakah bila seseorang yang dituntut oleh suaminya telah melakukan zina tanpa adanya barang bukti tetapi telah membuat pengakuan didalam BAP (tanpa adanya sumpah). Dan bagaimanakah tuntutan tersebut apabila statusnya telah bercerai, tetapi si suami belum mencabut tuntutannya. Apakah tuntutan tersebut dapat diteruskan atau tidak, mengingat statusnya telah cerai. 2. Apakah BAP tersebut dapat dijadikan barang bukti ? padahal pada saat itu ada kesepakatan damai (dijanjikan damai oleh polisi yang memeriksa), makanya adanya pengakuan di BAP tersebut. Setelah adanya pengakuan tersebut memang terjadi kesepakatan damai. Tetapi sebulan kemudian si suami tidak terima karena tidak puas dan ingin membuka kembali kasus tersebut. Kemudian setelah ada pembicaran si suami mau damai lagi asalkan si istri mau mencabut gugatan cerai terhadap dirinya. Tetapi si istri tidak mau. Bagaimanakah posisi si istri apakah dia dapat meneruskan gugatan cerainya?
15. bagaimanakah proses penyidikan dalam kejahatan cyber, pengadilan negeri mana yang berwenang mengadili dalam hal tindak kejahatan cyber,pemerikasaan /sidang perkara tindak pidana bi bidang kejahatan internet dilakukan dengan acara pemeriksaan biasa atau singkat?dan bagaimana dengan alat bukti?sebelumnya terima kasih.
16. Apa yang dimaksud dengan putusan sela, bagaimana hubungannya dengan upaya hukum lainnya, apa akibatnya pada terpidana
17. Berapa lama penahanan tersangka sebelum di ajukan ke pengadilan dan proses apa yang akan dijalani oleh tersangka? Apa yang harus kami lakukan sebagai keluarga tersangka? Bila tidak bersalah dan sudah ditahan sebegitu lama, bisakah kami mengajukan tuntutan balik kepada polisi Terima kasih atas bantuannya.
18. Bagaimanakah hubungan kausalitas hukum pidana?
19. Kita sering mendengar atau melihat sendiri tindakan plagiat entah dalam bidang seni atau karya tulis . Dalam bidang akademik plagiat banyak dilakukan dalam penyusunan karya tulis/ilmiah dalam penyusunan skripsi atau thesis . tindakan ini apakah melanggar undang 2x yang berlaku khususnya dalam KUHP . Kalau melanggar pada pasal berapa ? apakah pelanggaran bisa dimasukan dalam pelanggaran tindak pidana ?
20. bagaimana perkembangan hukum nasional terhadap kejahatan canggih ini.apakah perlu diterbitkan uu mengenai cyber crime tersebut. atau KUHPidana kita sudah dapat dianggap cukup untuk menanggulangi cyber crime. terima kasih.
21. seseorang telah melakukan pembakaran terhadap orang lain . Untuk itu dia dikenai pasal 338 dan dikenai hukuman 10 tahun. Setelah 10 tahun dia menjalani hukuman,dan dia bebas .kemudian selang beberapa waktu ternyata korban yang 10 tahun yanglalu dia bunuh dengan cara membakar ,tidak mati.dan akhirnya dia membunuh lagi orang yang sama waktu dia membunuh 10 tahun yang lalu. yangmenjadi pertanyaan saya : apakah dia dapat dihukum lagi apalagi kita mengetahui adanya asas nebis in idem yaitu seseorang tidak dapat dituntut atas kesalahan yang sama apabila telah diputuskan hakim sebagai keputusan akhir .
22. bagaimana cara melakukan pembuktian di pengadilan terhadap transaksi melalui internet, jika pada suatu saat terjadi suatu sengketa (problem hukum)
23. Istri saya berselingkuh, bagaimana saya dapat meminta pertanggungjawaban mereka? jelas saya dirugikan, saya ingin memperkarakan masalah ini ke pengadilan. Bagaimana caranya, dan pasal-pasal apa yang dapat dipakai? terimakasih
24. Apakah seseorang yang melakukan wanprestasi suatu perjanjian dapat dikatakan melakukan suatu penipuan?
25. Bagaimana sangsi hukum bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pencurian motor? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa syarat jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya? Jika bebas tanpa syarat, berhakkah pihak polisi menahan anak tersebut? Jika tidak apa yang harus saya lakukan sebagai wali anak tersebut, mengingat pihak polisi bersikukuh menahannya!
Hukum Acara Pidana
Ini sangat penting untuk di pahami, karena apabila kita berhadapan dengan polisi kita tahu apa yang harus di lakukan. bahkan sampai di tingkat pengadilan pun harus tahu proses beracara di sebuah pengadilan. Ini akan menjadi sangat bermanfaat mungkin tidak untuk diri anda sendiri tapi bisa membantu keluarga atau teman yang tertaik dengan kasus kriminal.
Sayang sekali aku hanya dapat Nilai “C”. Aku inget buku yang di beli dan di baca sangat kuno, tah tidak begitu tapi edisinya tidak berubah udah. yah edisi pertama terus tapi cetakannya sudah berulang ulang. Ini karena pada zaman kolonial dan sampai sekrang mungkin tidak pernah berudah hukum acara pidana yah.. prosesnya itu yah itu itu saja.
Bagaimanapun juga ini merupakan salah satu mata kuliah dasar karena bisa sangat bermanfaat kalo memahaminya. Sayang sekali aku masih kurang paham.
Pengaturan Tindak Pidana Administrasi Dalam RKUHP: Suatu Kajian Awal
Pengaturan Tindak Pidana Administrasi Dalam RKUHP:
Suatu Kajian Awal
Yance Arizona
I. Pengantar
Dihitung dari semangat perumusannya, KUHP yang berlaku sekarang lahir dari semangat zaman (zeitgeist) liberalisme individual dan rasionalisme abad 19 di Eropa. Dalam wujud aslinya, Wetboek Van Straftrechts, mulai berlaku di Belanda pada tahun 1886, kemudian tanggal 15 Oktober 1915 lewat titah Raja Belanda diasupkan untuk diberlakukan di daerah jajahan Hindia Belanda dengan nama Wetboek Van Straftrecht voor Netherlandsch Indie. Pencapaian Belanda membuat Wetboek Van Straftrechts besar dipengaruhi oleh Code Penal Perancis, pencapaian dalam kodifikasi hukum tersebut dicoba ditransplantasi ke wilayah jajahan agar tercipta satu kehidupan yang didasarkan pada satu hukum, unifikasi. Unifikasi hukum di bawah hukum kolonial merupakan wujud superioritas hukum penjajah guna melaksanakan misi kolonialisme. Namun, upaya transpalantasi hukum kolonial Belanda di Hindia Belanda tidak berlangsung secara ekstensif. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh gerakan dari beberapa ahli hukum di negeri Belanda seperti Cornelis Van Vallenhoven yang menolak gagasan unifikasi hukum sebab akan menghancurkan nilai-nilai lokal (hukum adat) yang hidup dalam masyarakat Hindia Belanda yang memiliki nilai sangat “tinggi”.
Baru setelah kemerdekaan pada tahun 1945, dengan semangat nasionalisme, konstruksi hukum Republik Indonesia mulai digagas oleh para pendiri republik. Hukum (dalam bentuk peraturan) pada mulanya diciptakan secara kilat dan sementara untuk merespon kebutuhan revolusi. Bahkan hukum dasar negara waktu itu (UUD 1945 generasi pertama) dirancang sebagai hukum dasar yang bersifat sementara dan kilat (revolution groundwet). Semangat nasionalisme pada masa itu mencoba memasuki banyak dimensi kehidupan masyarakat, namun nasionalisme dan revolusi dalam politik massa di permulaan republik tidak menyentuh pentingnya perubahan hukum pidana produk Belanda (Wetboek Van Straftrechts voor Netherlandsch Indie). Bahkan aturan peralihan UUD 1945 membawa dampak Wetboek Van Straftrechts voor Netherlandsch Indie secara implisit dinyatakan masih berlaku. Patut diduga bahwa revolusi kemerdekaan mengabaikan perubahan undang-undang hukum pidana yang berlaku umum, salah satu bukti atas dugaan tersebut karena pemerintah hanya menyatakan secara general dan abstrak bahwa seluruh undang-undang yang berlaku, sepanjang belum dibentuk undang-undang baru dinyatakan masih berlaku – tidak ekplisit menyatakan secara jelas bahwa Wetboek Van Straftrechts voor Netherlandsch Indie berlaku sebagai hukum pidana umum di republik muda Indonesia. Apa yang kita kenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hari ini pun bukan lahir dari kebijakan khusus pemerintah, KUHP yang kita kenal hari ini dalam bahasa Indonesia adalah KUHP yang diterjemahkan oleh pakar hukum pidana di awal republik seperti KUHP yang diterjemahkan Moeljatno, R Soesilo dan lainnya, bahkan sampai saat ini belum ada tafsir resmi pemerintah menerjemahkan Wetboek Van Straftrechts voor Netherlandsch Indie. Namun, meskipun belum ada tafsir resmi, Wetboek Van Straftrechts voor Netherlandsch Indie yang diterjemahkan sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh sejumlah ahli adalah suatu kenyataan hukum dan menjadi salah satu tulang punggung kehidupan hukum Republik Indonesia sampai hari ini.
Kemudian generasi pendiri republik digantikan dengan satu generasi baru yang menyebut dirinya Orde Baru. Pola berkembangnya rezim ini adalah apa yang kemudian dikenal dengan istilah Developmentalisme, sebagian ahli menerjemahkan kata itu dalam bahasa Indonesia dengan kata “pembangunanisme”. Inilah rezim pembangunan, tempat banyak infrastruktur di bangun, banyak peraturan perundang-undangan dibikin. Pembangunan menjadi suatu ideologi. Mochtar Kusuma Atmadja seorang ahli hukum yang berperan penting di masa itu mengintrodusir pandangan hukum Rescoe Pound yang mengatakan bahwa: law is tools of social engineering [hukum adalah alat rekayasa sosial]. Bedanya dengan pandangan Pound yang memandang Law sebagai putusan hakim dalam sistem anglo-saxon, Mochtar Kusuma Atmadja mengartikan Law itu sebagai hukum dalam arti peraturan dan kebijakan penguasa yang dituliskan. Sehingga guna melakukan perubahan sosial untuk tujuan pembangunan harus didayagunakan dengan instrumen peraturan perundang-undangan.
Untuk meyukseskan misi pembangunanisme Orde Baru dilakukan secara instrumental dengan membangun banyak infrastruktur, termasuk infrastruktur di bidang peraturan perundang-undangan. Pola peraturan yang dibentuk adalah peraturan yang merupakan pencabaran dari peraturan yang ada sudah ada. Dalam ilmu ekonomi modern hal ini adalah pola spesialisasi. Undang-undang baru dibentuk sebagai undang-undang khusus karena kebutuhan percepatan pembangunan dan investasi. Terutama dengan membuat undang-undang di bidang sumberdaya alam dan sektor ekonomi lain, misalkan di bidang agraria yang sudah diatur dalam UU No 5 Tahun 1960, tetapi kemudian dibuat UU No 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan masih banyak lagi selama 32 tahun Kesemua undang-undang khusus tersebut adalah sendi-sendi yang menopang berjalannya rezim Orde Baru.
Banyaknya undang-undang khusus tersebut juga memiliki konsekuensi terhadap perkembangan hukum pidana karena undang-undang khusus tersebut pada satu bagiannya mengatur tentang ketentuan pidana. Undang-undang yang sebelumnya diadakan untuk keperluan birokrasi pemerintahan yang bercorak administratif dirumuskan untuk ditegakkan dengan bantuan hukum pidana. Dari sinilah bermula satu konsep tentang pidana administrasi karena hukum pidana didayagunakan untuk membantu menegakkan hukum administrasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Dalam catatan Barda Nawawie Arief (2003) terdapat sedikitnya 25 (duapuluhlima) UU yang memuat tindak pidana administratif.
Tetapi, Salah satu poin penting yang perlu dicatat dengan latar rezim Orde Baru ini adalah ia sebagai latar munculnya suatu inisiatif untuk melakukan perubahan, atau lebih tepatnya penggantian Wetboek Van Straftrechts Voor Netherlandsch Indie yang sudah berlaku puluhan tahun di nusantara. Pada tahun 1963 pernah diadakan satu seminar hukum nasional yang salah satunya menyepakati untuk melakukan upaya perubahan Wetboek Van Straftrechts Voor Netherland Indische (KUHP) dengan KUHP baru yang akan sesuai dengan konteks keindonesiaan. Meskipun sudah puluhan tahun diinisiasi dan generasi ahli hukum pidana pun sudah berganti, KUHP baru belum juga kunjung diundangkan.
Kemudian wacana, gerakan dan kebijakan pembaruan hukum yang mengemuka senafas dengan nada reformasi yang bergulir sejak 1998 menghantarkan kembali kepada hangatnya pembahasan pembaruan hukum pidana dengan melakukan perubahan Wetboek Van Straftrechts Voor Netherlandsch Indie (KUHP). Sudah banyak seminar, diskusi dan kajian yang dilakukan untuk mengawal dan mendebat ide-ide yang dirumuskan serta mendorong proses pembahasannya agar sampai di DPR. Ada banyak konsep-konsep baru yang diasupkan ke dalam RKUHP yang menurut informasi terakhir sudah disiapkan oleh Departemen Hukum dan HAM untuk dipresentasikan di depan Presiden supaya mendapatkan Amanat Presiden (Ampres) sehingga sudah dapat disampaikan kepada DPR. Salah satu konsep yang relevan dikaji dalam RKUHP adalah soal tindak pidana admnistrasi. Konsep ini tidak banyak digeluti oleh pakar hukum pidana di Indonesia sehingga tidak banyak ditemukan dalam literatur-literatur hukum pidana di perguruan tinggi.
Kajian ini menyentuh pengaturan tindak pidana administrasi yang coba diasupkan ke dalam RKUHP. Secara berurutan, kajian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan bagaimana rumusan tindak pidana administrasi dalam RKUHP yang terdiri dari: a] pelaku tindak pidana; b] objek pengaturan (delik formil dan delik materil); c] sifat melawan hukum tindak pidana administrasi; dan d] bagaimana kaitan pidana administrasi dalam RKUHP dengan UU Khusus. Sebagai kajian awal maka kajian ini belumlah bersifat mendalam yang mengkritisi konsep tindak pidana administrasi, melainkan bersifat deskriptif.
II. Tinjauan Tindak Pidana Administrasi
a. Pengertian
Dalam Black’s Law Dictionary, kata administrative crime sebagai padanan kata tindak pidana administrasi diartikan: “An offense consisting of a violation of an administrative rule or regulation that carries with a criminal sanction”. Menurut Barda Nawawie Arif, hukum pidana administrasi merupakan hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran administrasi. Pada hakikatnya, hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan/melaksanakan hukum administrasi. Jadi merupakan fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumentalisasi hukum pidana di bidang hukum administrasi.
Pendefinisian tindak pidana administrasi sebagai pendayagunaan hukum pidana untuk menegakkan hukum administrasi membawa hukum pidana hanya dapat diterapkan pada suatu peristiwa tertentu tergantung apakah peristiwa tersebut tergolong perbuatan melawan hukum dalam hukum administrasi atau tidak. Posisi menyusul hukum pidana setelah hukum administrasi ini kemudian menjadi dilematis karena terletak antara dua pandangan. Pandangan pertama yaitu bahwa hukum pidana merupakan ultimum remidium atau upaya terakhir dalam penegakan hukum setelah diberikan peluang penyelesaian hukum lewat cabang hukum lain, misalkan hukum administrasi, perdata, dll. Pandangan pertama ini senada dengan pengertian hukum pidana administrasi yang diajukan Barda Nawawie Arief dan senada dengan asas subsidiaritas dalam hukum pidana. Pandangan kedua yang berorientasi kepada pendayagunaan hukum pidana untuk tercapainya tujuan publik dari hukum pidana menyatakan bahwa setelah adanya penegakan hukum administrasi (sanksi administratif) pada suatu tindak pidana administrasi tidak menghilangkan sanksi pidana atas perbuatan tersebut.
b. Generic Crime Vs Administrative crime
Dalam teori hukum pidana tradisional, terdapat pembedaan antara mala in se dan mala prohibita. Mala in se adalah tindakan yang jahat karena tindakan itu sendiri (evil in itself), sedangkan mala prohibita adalah tindakan yang disebut jahat karena dilarang oleh tata hukum positif. Pembedaan itulah kiranya yang mendasari pembedaan Kejahatan dengan Pelanggaran dalam KUHP secara keliru. Berbeda dengan RKUHP yang sedang diusung sekarang, tidak lagi membagi tindak pidana dalam bentuk Kejahatan dan Pelanggaran, melainkan mengintegrasikan kedua hal tersebut dengan definisi “Tindak Pidana”. Salah satu konsekuansi dari integrasi itu maka RKUHP hanya akan terdiri dari dua buku, yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana. Namun, pengintegrasian kejahatan dan pelanggaran menjadi tindak pidana tidak menghilangkan diferensiasi pada tindak pidana. Salah satu diferensiasi yang masih diperbincangkan adalah pembedaan antara tindak pidana umum (generic crime/independent crime) dengan tindak pidana administrasi (administrative crime) yang sudah banyak menyebar pada undang-undang khusus. Meskipun RKUHP tidak secara eksplisit menyebut perbedaan dua jenis tindak pidana tersebut, secara konseptual perbedaan tindak pidana umum dengan tindak pidana administrasi memiliki konsekuensi yuridis yang perlu dicermati
Generic crime adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu tindak “pidana yang berdiri sendiri” atau independent crimes, seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan, dan tindak pidana lainnya yang dinyatakan sebagai tindak pidana karena sudah dipositifkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang pidana. Salah satu tindak pidana di luar generic crime adalah tindak pidana tindak pidana administrasi yang selama ini diatur dalam banyak undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Terorisme, UU Perbankan, UU Perkebunan, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan lainnya. Tindak pidana dalam undang-undang sektoral/khusus bersifat lex spesialis karena dapat melakukan penyimpangan dari asas-asas dalam hukum pidana yang termuat dalam KUHP berdasarkan asas lex spesialis derogat legis generalis [paraturan yang berlaku khusus mengenyampingkan peratarun yang berlaku umum].
Kebanyakan tindak pidana dalam UU sektoral digolongkan sebagai tindak pidana administrasi/administrative penal/administrative crime karena mendayagunakan hukum pidana untuk menegakkan hukum administrasi. Beberapa contoh pengaturan tindak pidana administrasi dalam undang-undang khusus dikemukakan di bawah ini:
• UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 75 ayat (1)
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000, 00 (seratus juta rupiah)
• UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 78 ayat (1) juncto Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1) [Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan – pen] atau Pasal 50 ayat (2) [Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan – pen], diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
Dua contoh yang disebutkan di atas adalah sebagian kecil dari banyak tindak pidana administrasi yang diatur dalam undang-undang khusus. Dua contoh terakhir dikatakan sebagai tindak pidana administrasi karena peristiwa yang diatur sebagai tindakan melawan hukum dalam ketentuan tersebut bermula dari perbuatan melawan hukum dalam ranah administrasi (dengan kata kunci surat tanda registrasi dan izin), tetapi perbuatan melawan hukum pada ranah hukum administrasi di tegakkan dengan mendayagunakan sanksi pidana. Bahkan dalam dua undang-undang tersebut, perbuatan melawan hukum yang dicontohkan secara eksplisit dicantumkan pada Bab tentang Ketentuan Pidana.
Perbedaan antara generic crime dengan administrative crime pada pokoknya adalah terletak pada apakah suatu sifat melawan hukum pada suatu tindak pidana terkait dengan penentuan pada cabang hukum lain (hukum administrasi) atau secara mandiri dapat dikategorikan dalam undang-undang hukum pidana itu sendiri.
III. Ketentuan Tindak Pidana Administrasi dalam RKUHP
Terdapatnya salah satu bab tentang tindak pidana perizinan yang terdapat di dalam RKUHP adalah penanda yang paling kentara adanya pengaturan tindak pidana administrasi dalam RKUHP. Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan atau mengendalikan tingkah laku para warga dan juga sumberdaya. Izin pada prinsipnya merupakan persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. Dengan memberi izin, penguasa memperbolehkan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Kebolehan untuk melakukan tindakan tertentu tersebut lazimnya dilekati dengan persyaratan atau cara tertentu. Izin merupakan perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa kongkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu.
Unsur-unsur perizinan antara lain: a) merupakan instrumen yuridis dalam bentuk keputusan (ketetapan); b) harus ada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan; c) dikeluarkan oleh organ pemerintah; d) ditujukan untuk peristiwa kongkret; e) harus memenuhi prosedur dan persyaratan tertentu.
Selain terkait dengan tindakan tanpa izin, rumusan tindak pidana administrasi yang ditemukan di dalam RKUHP juga mengatur perbuatan yang dilakukan tanpa wewenang, tanpa pemberitahuan, atau tindakan melampaui kewenangan. Dari rumusan yang ditemukan dalam RKUHP dapat ditemukan rumusan tindak pidana administrasi dalam pasal-pasal berikut:
1. Pasal 226
2. Pasal 318 ayat (1) dan ayat (2)
3. Pasal 319 ayat (1) dan ayat (2)
4. Pasal 320
5. Pasal 321
6. Pasal 322
7. Pasal 355
8. Pasal 359
9. Pasal 381
10. Pasal 382
11. Pasal 433
12. Pasal 441
13. Pasal 446
14. Pasal 639
15. Pasal 641
16. Pasal 650
17. Pasal 651
18. Pasal 678
Selain digunakan pada rumusan pengaturan tindak pidana administrasi, kata izin juga ditemukan untuk menunjuk kepada tindak pidana yang tidak berkaitan dengan administrasi pemerintahan, misalkan izin yang timbul dalam hubungan keperdataan. Terdapat satu tindak pidana yang lahir dari hubungan keperdataan yang menggunakan kata izin sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 317 RKUHP:
Setiap orang yang tanpa izin meminjamkan uang atau barang dalam bentuk gadai, jual beli dengan boleh dibeli kembali ataupun perjanjian komisi sebagai mata pencaharian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Secara keseluruhan, dengan menggunakan kata kunci izin, ditemukan sejumlah 20 ketentuan baik terdiri dari pasal, ayat, atau bagian dari pasal di dalam RKUHP yang tergolong tindak pidana administrasi. Dari sejumlah itu, terdapat 17 ketentuan yang addresat-nya setiap orang, 2 pasal addresat-nya pengurus korporasi, dan 1 pasal yang addresat-nya bekas pegawai negeri. Ketentuan tindak pidana administrasi yang terdapat dalam RKUHP uraikan dalam tabel berikut:
a. Setiap orang
Frasa “setiap orang” sebagai subjek hukum yang mencakup keseluruhan orang adalah istilah yang baru muncul beberapa dekade terakhir. Sebelumnya, sebagaimana masih dijumpai dalam KUHP sekarang (terjemahan Wetboek Van Straftrecht Voor Netherlandsch Indie) menggunakan frasa “barang siapa.” Perubahan ini dipengaruhi oleh perkembangan penggunakan bahasa Indonesia ke dalam bahasa perundang-undangan. Bahkan undang-undang baru yang addresat-nya berlaku untuk semua orang sekarang ini seluruhnya menggunakan frasa “setiap orang”. Setiap orang merujuk kepada siapa saja yang dicakupi oleh paraturan undang-undang pidana yang diikat lewat asas teritorialitas dan nasionalitas. Seseorang dapat menjadi subjek dalam hukum pidana sepanjang dapat dimintakan pertanggungjawab (toerekeningsvabaarheid). Yang dikecualikan sebagai subjek tindak pidana adalah orang yang menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa serta anak-anak yang belum cukup umur.
Tindak pidana administrasi yang subjeknya setiap orang di dalam RKUHP adalah tindakan tanpa izin yang dilakukan pada tindakan yang disebutkan dalam tabel berikut:
Tabel I.
Tindak Pidana Administrasi yang Subjek Hukumnya Setiap Orang
No Pasal Tindakan yang diatur
1 226 mengajak orang untuk masuk menjadi anggota tentara asing
2 318 ayat 1 Mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum
3 318 ayat 2 Tindakan yang diatur pada ayat (1) yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat,
4 319 ayat 1 Mengadakan pesta atau keramaian untuk umum di jalan umum atau di tempat umum
5 319 ayat 2 Tindakan yang diatur pada ayat (1) yang mengakibatkan terganggungnya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat
6 320 a. Menjalankan pekerjaan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus memiliki izin dan dalam menjalankan pekerjaan tersebut tidak dalam keadaan terpaksa; atau
b. Menjalankan pekerjaan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus dimiliki, melampaui wewenang yang diizinkan kepadanya dan dalam menjalankan pekerjaan tersebut tidak dalam keadaan terpaksa
7 321 Menjalankan pekerjaan sebagai dokter atau dokter gigi sebagai mata pencaharian baik khusus maupun sambilan dengan tidak mempunyai izin dan dalam menjalankan pekerjaan tersebut tidak dalam keadaan terpaksa
8 322 Tanpa wewenang memberikan kepada atau menerima dari narapidana suatu barang
9 355 Tanpa izin pejabat yang berwenang membakar benda milik sendiri yang dapat mengakibatkan bahaya umum
10 259 Membuat obat atau bahan peledak, penggalak, atau peluru untuk senjata api
11 381 huruf f Menghalang-halangi jalan umum di darat atau di air atau merintangi lalu lintas di tempat tersebut atau menimbulkan halangan atau rintangan karena penggunaan kendaraan di tempat tersebut tanpa tujuan.
12 382 ayat 1 a. memasang perangkap, jerat, atau perkakas lain untuk menangkap atau membunuh binatang buas di tempat yang dilewati orang, yang dapat mengakibatkan timbulnya bahaya bagi orang; atau
b. berburu atau membawa senjata api ke dalam hutan negara, yang tanpa izin dilarang untuk melakukan perbuatan tersebut.
13 433 ayat 1 a. membuat salinan atau mengambil petikan dari surat resmi negara atau badan pemerintah, yang diperintahkan oleh kekuasaan umum untuk dirahasiakan;
b. mengumumkan seluruh atau sebagian surat-surat sebagaimana dimaksud pada huruf a; atau
c. mengumumkan keterangan yang tercantum dalam surat sebagaimana dimaksud pada huruf a, padahal diketahui atau patut diduga keterangan tersebut harus dirahasiakan.
14 441 ayat 1 Menyimpan atau memasukkan ke wilayah negara Republik Indonesia keping-keping atau lembaran perak, baik yang ada cap maupun tidak, atau yang sudah mempunyai cap diulangi lagi capnya, atau yang setelah dikerjakan sedikit dapat dianggap sebagai mata uang, padahal nyata-nyata tidak digunakan sebagai perhiasan atau tanda peringatan
15 446 ayat 1 huruf f Membubuhi barang yang wajib ditera atau atas permintaan yang berkepentingan diizinkan untuk ditera lagi dengan tanda tera Republik Indonesia yang palsu
16 650 merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah
17 651 melakukan pencarian benda cagar budaya atau benda yang tidak diketahui pemiliknya dengan penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari pemerintah
Setiap orang sebagai subjek dalam tindak pidana administrasi berarti tidak hanya menyangkut aparat pemerintahan yang mengurus kerja-kerja birokrasi pemerintahan, tetapi juga memasukkan setiap orang yang terkait dengan pekerjaan atau hak warga sipil yang mesti dilaksanakan lewat prosedur administratif, misalkan izin atau bukti registrasi yang lahir dari permohonan.
b. Korporasi
Subjek hukum kedua yang mengemban tanggungjawab pada jenis tindak pidana administrasi yang ditemukan adalah “pengurus korporasi”. Subjek hukum ini dikaitkan dengan kedudukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana atau tindak pidana korporasi. Prinsip pertanggungjawaban korporasi pertama kali diatur pada tahun 1951 yaitu dalam UU tentang Penimbunan Barang, dan dikenal secara lebih luas lagi dalam UU No. 71 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam perkembangannya kemudian, prinsip pertanggungjawaban korporasi banyak diadopsi dalam peraturan perundang-undangan, seperti: UU 5/1984 tentang Perindustrian, UU 8/1985 tentang Pasar Modal, UU 5/1997 tentang Psikotropika, UU 22/1997 tentang Narkotika, UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucuian Uang, dan UU 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.
Korporasi atau badan hukum adalah satu konsep tentang pribadi bayangan dalam hukum modern. Hukum pidana modern mengkonstruksikan bahwa pelaku dari tindak pidana adalah pribadi atau individu (naturalijk person), tetapi dalam perkembangannya, badan hukum (rechts person) atau korporasi dapat juga melakukan kejahatan yang menimbulkan kerugian publik. Korporasi biasa didefinisikan sebagai “sekelompok orang yang diperlakukan oleh hukum sebagai satu kesatuan, yaitu person yang memiliki hak dan kewajiban terpisah dari hak dan kewajiban individu yang membentuknya.”
Mengenai pertanggungjawaban korporasi, Penjelasan Pasal 50 RKUHP memberikan tiga kemungkinan pertanggungjawaban pidana korporasi, di sana dicantumkan:
“Mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak pidana dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat kemungkinan sebagai berikut:
a. pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggung jawab;
b. korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab; atau
c. korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja.”
Dari penjelasan Pasal 50 RKUHP tersebut dapat dikualifisir bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi dapat terbagi atas tiga subjek hukum, yaitu: a] pengurus korporasi, b] korporasi dan pengurus korporasi, atau c] korporasi saja. Tetapi, tindak pidana administrasi yang ditelusuri dengan kata kunci izin dalam RKUHP ditemukan bahwa subjek yang diatur secara eksplisit adalah pengurus atau komisaris perseroan terbatas atau korporasi, berarti tindak pidana administrasi yang hendak diatur melalui RKUHP adalah pengurus korporasi sebagaimana ditemukan dalam Pasal 693 dan Pasal 641 RKUHP:
Tabel II.
Tindak Pidana Administrasi yang Subjek Hukumnya Korporasi
No Pasal Tindakan yang diatur
1 639 a. membantu atau mengizinkan dilakukannya perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasarnya sehingga seluruh atau sebagian besar dari kerugian yang diderita oleh perseroan terbatas atau korporasi tersebut disebabkan karena perbuatan tersebut;
b. dengan maksud menangguhkan kepailitan atau pemberesan perusahaan, membantu atau mengizinkan meminjam uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal diketahui bahwa keadaan pailit atau pemberesan perusahaan tersebut tidak dapat dicegah; atau
c. karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban untuk mencatat segala sesuatu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyimpan dan memperlihatkan dalam keadaan utuh buku,
2 641 membantu atau mengizinkan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar yang mengakibatkan perseroan terbatas atau korporasi lainnya tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya atau harus dibubarkan
Dua pasal yang merumuskan tindak pidana administrasi dalam RKUHP mengatur tindakan yang sudah diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jadi dua pasal ini memiliki keterkaitan sistematis dengan UU Kepailitan
c. Bekas pegawai negeri
Subjek hukum ketiga yang ditemukan sebagai pelaku tindak pidana administrasi adalah “bekas pegawai negeri”. Dalam Pasal 678 RKUHP dirumuskan ketentuan yang berbunyi:
Bekas pegawai negeri yang tanpa izin pejabat yang berwenang menahan surat-surat dinas yang ada padanya, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.
Mengenai subjek hukum ini seharusnya penjelas yang paling relevan membantu menerangkannya adalah UU tentang Kepegawaian. Namun dalam UU No. 8 Tahun 1974 juncto UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian tidak mengatur tindakan yang dirumuskan Pasal 678 RKUHP sebagai tindak pidana, sehingga rumusan tersebut adalah rumusan tindak pidana baru yang tidak ada landasan pengaturan serupa pada undang-undang kepegawaian atau undang-undang khusu lainnya.
d. Delik Formil Vs Delik Materil
Sebelum mengemukakan perbedaan antara delik formil dengan delik materil, terlebih dahulu akan dijelaskan objek dari (pengaturan tindak) pidana. Objek tindak pidana adalah unsur yang berada di luar subjek (pelaku) tindak pidana. Menurut P.A.F. Lamintang, unsur objektif dari tindak pidana dapat berupa:
a. suatu perbuatan atau “handeling”, perbuatan mana dapat berupa “berbuat sesuatu” atau “een doen” dan dapat pula berupa “tidak berbuat sesuatu” atau ”een nalaten”;
b. suatu akibat atau gevolg; dan
c. masalah-masalah, keadaan-keadaan atau omstandigheden, yang semuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Berdasarkan tiga unsur objektif dari tindak pidana yang dikemukanan oleh Lamintang (Perbuatan, akibat, dan keadaan) dapat diturunkan menjadi dua jenis tindak pidana atau delik berdasarkan unsur objektif tersebut, yaitu delik formil (formeel delict) dan delik materil (materieel delict). Delik formil adalah delik yang ditujukan pada perbuatan, sedangkan delik materil adalah delik yang ditujukan pada akibat dari suatu perbuatan. Lalu bagaimana bila dikaitkan dengan tindak pidana administrasi yang menempatkan hal administratif sebagai salah satu unsur yang harus ada menjadi karakteristik tindak pidana administrasi? Bila dilihat rumusan pasal-pasal tindak pidana administrasi yang ditemukan dalam RKUHP, diketahui bahwa tindak pidana administratif tidak hanya terkait dengan perbuatan saja, tetapi ada juga ketentuan yang ditujukan atau memasukkan akibat sebagai unsur delik. Uraian delik formil dan delik materil dari tindak pidana administrasi dalam RKUHP dapat dilihat di dalam tabel di bawah:
Tabel III
Perbandingan Delik Materil dengan Delik Formil Tindak Pidana Administrasi
No Delik Formil Delik Materil
1 Pasal 226
à mengajak orang untuk masuk menjadi anggota tentara asing (Pasal 218 ayat 2) à melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat,
2 Pasal 218 ayat 1
à mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum Pasal 219 ayat 2 à melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) yang mengakibatkan terganggungnya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat,
3 Pasal 219 ayat 1
à mengadakan pesta atau keramaian untuk umum di jalan umum atau di tempat umum, Pasal 355 à membakar benda milik sendiri yang dapat mengakibatkan bahaya umum
4 Pasal 320 huruf a
à menjalankan pekerjaan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus memiliki izin dan dalam menjalankan pekerjaan tersebut tidak dalam keadaan terpaksa; Pasal 382 ayat (1) huruf a à memasang perangkap, jerat, atau perkakas lain untuk menangkap atau membunuh binatang buas di tempat yang dilewati orang, yang dapat mengakibatkan timbulnya bahaya bagi orang
5 Pasal 320 huruf b
à memiliki izin menjalankan pekerjaan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus dimiliki, melampaui wewenang yang diizinkan kepadanya dan dalam menjalankan pekerjaan tersebut tidak dalam keadaan terpaksa Pasal 639 huruf a à membantu atau mengizinkan dilakukannya perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasarnya sehingga seluruh atau sebagian besar dari kerugian yang diderita oleh perseroan terbatas atau korporasi tersebut disebabkan karena perbuatan tersebut
6 Pasal 321
à menjalankan pekerjaan sebagai dokter atau dokter gigi sebagai mata pencaharian baik khusus maupun sambilan dengan tidak mempunyai izin dan dalam menjalankan pekerjaan tersebut tidak dalam keadaan terpaksa Pasal 641 à membantu atau mengizinkan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar yang mengakibatkan perseroan terbatas atau korporasi lainnya tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya atau harus dibubarkan
7 Pasal 322
à memberikan kepada atau menerima dari narapidana suatu barang,
8 Pasal 359
à membuat obat atau bahan peledak, penggalak, atau peluru untuk senjata api,
9 Pasal 381 huruf f
à menghalang-halangi jalan umum di darat atau di air atau merintangi lalu lintas di tempat tersebut atau menimbulkan halangan atau rintangan karena penggunaan kendaraan di tempat tersebut tanpa tujuan
10 Pasal 382 ayat (1) huruf b
à berburu atau membawa senjata api ke dalam hutan negara, yang tanpa izin dilarang untuk melakukan perbuatan tersebut
11 Pasal 433 ayat (1)
à
a. membuat salinan atau mengambil petikan dari surat resmi negara atau badan pemerintah, yang diperintahkan oleh kekuasaan umum untuk dirahasiakan;
b. mengumumkan seluruh atau sebagian surat-surat sebagaimana dimaksud pada huruf a; atau
c. mengumumkan keterangan yang tercantum dalam surat sebagaimana dimaksud pada huruf a, padahal diketahui atau patut diduga keterangan tersebut harus dirahasiakan
12 Pasal 441 ayat (1)
à menyimpan atau memasukkan ke wilayah negara Republik Indonesia keping-keping atau lembaran perak, baik yang ada cap maupun tidak, atau yang sudah mempunyai cap diulangi lagi capnya, atau yang setelah dikerjakan sedikit dapat dianggap sebagai mata uang, padahal nyata-nyata tidak digunakan sebagai perhiasan atau tanda peringatan,
13 Pasal 446 ayat (1) huruf f
à membubuhi barang yang wajib ditera atau atas permintaan yang berkepentingan diizinkan untuk ditera lagi dengan tanda tera Republik Indonesia yang palsu
14 Pasal 639 huruf b dan huruf c
à
b. dengan maksud menangguhkan kepailitan atau pemberesan perusahaan, membantu atau mengizinkan meminjam uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal diketahui bahwa keadaan pailit atau pemberesan perusahaan tersebut tidak dapat dicegah; atau
c. karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban untuk mencatat segala sesuatu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyimpan dan memperlihatkan dalam keadaan utuh buku,
15 Pasal 650
à merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah,
16 Pasal 651
à melakukan pencarian benda cagar budaya atau benda yang tidak diketahui pemiliknya dengan penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari pemerintah
17 Pasal 678
à menahan surat-surat dinas yang ada padanya,
Tabel di atas menunjukkan bahwa rumusan delik formil tindak pidana administrasi di dalam RKUHP lebih banyak dari pada delik materil. Artinya, tindak pidana yang diatur adalah tindak pidana yang terkait dengan perbuatan seseorang yang melakukan kegiatan tanpa izin, tanpa wewenang, tanpa pemberitahuan atau tindakan yang melampaui wewenang meskipun belum atau tidak menimbulkan akibat atau kerugian pada kepentingan publik.
e. Perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana administrasi
Di atas sudah ditemukan bahwa ketentuan yang dirumuskan dalam RKUHP lebih banyak memasukkan delik formil dari pada delik materil. Sehingga lebih banyak yang dikriminalisasi adalah perbuatan yang dilakukan meskipun perbuatan tersebut belum/tidak menimbulkan akibat kerugian publik. Sepanjang unsur-unsur tindak pidana (subjek dan objek) tindak pidana sudah dipenuhi, maka perkara tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana. Salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengkategorikan suatu tindakan sebagai tindak pidana adalah apakah tindakan tersebut bersifat melawan hukum atau tidak.
Bila meminjam norma yang terdapat dalam hukum perdata mengenai perbuatan melawan hukum, maka akan ditemukan bahwa melawan hukum tidak hanya melawan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga dapat perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kepatutan, kepantasan serta kemanfaatan dalam masyarakat. Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan definisi perbuatan melawan hukum sebagai berikut:
Perbuatan melawan hukum yang tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:
• Adanya suatu perbuatan yang melawan hukum. Disebut melawan hukum jika: (1) melanggar undang-undang yang berlaku; (2) melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum; (3) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; (4) bertentangan dengan kesusilaan; (5) bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat. Dalam hal ini perbuatan melawan hukum bisa juga berhubungan dengan moral tertentu.
• Adanya kesalahan dari pelaku
• Adanya kerugian korban
• Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian
Konsep perbuatan melawan hukum dari hukum perdata itu melahirkan dua sifat perbuatan melawan hukum, yaitu melawan hukum yang secara spesifik dilarang dalam perundang-undangan (onwetmatigedaad) dan di sisi lain ada perbuatan melawan hukum yang lebih luas yaitu yang mencakup juga perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berada di luar peraturan perundang-undangan (onrechtmatigedaad)
Lalu, apakah perbuatan melawan hukum yang secara luas sudah dirumuskan dalam Pasal 1365 KUH Perdata dapat diterima sebagai perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana? Sepanjang ini, persoalan itu masih menjadi perdebatan terkait persoalan asas legalitas. Asas legalitas juga masih menjadi satu tema perdebatan dalam penyusunan RKUHP. Bila ditelusuri, RKUHP mengkonstruksikan bahwa asas legalitas yang akan diberlakukan dalam KUHP baru tidaklah bersifat mutlak, melainkan dibatasi oleh hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Namun, bila dilihat dari rumusan pasal-pasal tindak pidana administrasi yang ditemukan dalam RKUHP, ditemukan bahwa sifat melawan hukum yang dikonstruksi lewat pasal-pasal tersebut adalah sifat melawan hukum (tertulis) atau onwetmatighedaad yang dalam hukum pidana lebih spesifik disebut dengan istilah wederrechtelijkheid. Hal itu dikarenakan pasal-pasal tersebut tidak memberi peluang kondisi di mana terlanggarnya norma-norma kehidupan kemasyarakatan sebagai objek yang dapat dipidana (melawan hukum). Apalagi pendukung ketertutupan sifat melawan hukum itu diikat oleh aspek administratif sebagai salah satu unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid), seperti tanpa izin, tanpa pemberitahuan, tanpa wewenang atau melampaui wewenang yang diberikan lewat prosedur administratif. Sehingga untuk memasukkan suatu perbuatan sebagai perbuatan tindak pidana asministrasi haruslah didahului atau dibarengi dengan pelaksanaan prosedur, penegakan atau pengujian administratif terlebih dahulu.
Sebenarnya sejak dalam perumusannya pun beberapa ketentuan tindak pidana administratif dapat diprediksi akan mengalami hambatan atau benturan dengan norma-norma masyarakat. Misalkan beberapa ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan tanpa izin untuk mengadakan pesta atau keramaian (Pasal 219 ayat 1 RKUHP). Ketentuan tidak melihat masyarakat dalam pluralitasnya. Karena dalam banyak contoh, upacara adat pada masyarakat tidak dapat dihambat karena prosedur administratif. Kalau dibenturkan dengan pasal 219 ayat (1) RKUHP, maka upacara adat yang mengumpulkan orang, bila dilakukan tanpa izin, adalah suatu tindak pidana. Berarti hal ini dapat menjadi salah satu bentuk kriminalisasi hukum negara terhadap nilai-nilai atau upacara adat pada masyarakat adat, sehingga kemudian membenarkan apa yang dikatakan oleh Bernard L. Tanya, bahwa hukum nasional itu menjadi beban bagi masyarakat lokal. Begitu juga dengan rumusan Pasal 650 dan Pasal 651 RKUHP tentang pencarian benda cagar budaya yang harus mendapat izin dari pemerintah. Padahal benda cagar budaya pada banyak tempat masih dijaga dan dipelihara oleh unit-unit sosial masyarakat adat (baik kerajaan, kesultanan, atau tidak) sebagai pusaka yang dipelihara lewat norma-norma tertentu di masyarakat.
IV. RKUHP: Defragmentasi setengah hati
Defragmentasi adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pengintegrasian berbagai cabang yang sebelumnya memiliki otonomi. Dengan kata lain, defragmentasi dalam penyusunan RKUHP adalah semacam upaya untuk memungut kembali aturan-aturan tindak pidana yang sebelumnya telah menyebar di berbagai undang-undang khusus. Terkait dengan itu adalah upaya (re)kodifikasi pengaturan tindak pidana yang ingin dilakukan melalui RKUHP. Melihat rumusan pasal yang diatur dalam RKUHP nampak bahwa RKUHP tidak memungut atau merekodifikasi seluruh ketentuan tentang tindak pidana administrasi untuk dimasukkan ke dalam bagian buku II RKUHP.
Para penyusun RKUHP juga memiliki pandangan bahwa KUHP baru yang akan dibentuk kelak hanya akan berisi tentang tindak pidana umum saja. Muladi menyatakan bahwa dalam memilih delik-delik yang ada di dalam UU khusus, konsep kodifikasi mendasarkan pada kriteria tindak pidana yang bersifat umum (generic crime/independent crime) dengan bertolak dari rambu-rambu sebagai berikut:
1. Merupakan perbuatan jahat yang bersifat independent (antara lain tidak mengacu atau tergantung pada pelanggaran terlebih dahulu terhadap ketentuan hukum administrasi dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan);
2. Daya berlakunya relatif lestari, artinya tidak dikaitkan dengan berlakunya prosedur atau proses administrasi (specific crimes, administrative dependent crimes), dan
3. Ancaman hukumannya lebih dari 1 (satu) tahun pidana perampasan kemerdekaan (penjara/kurungan).
4. Membiarkan pengaturan dalam hukum administrasi apa yang dinamakan tindak pidana yang bersifat “administrative dependence of environmental criminal law”, baik yang merupakan delik formil (abstract endangerment) maupun delik materiil (concrete endangerment);
5. Memasukkan dalam kodifikasi hukum pidana (KUHP) :
Penolakan memasukkan tindak pidana administrasi dalam RKUHP juga disampaikan oleh Barda Nawawie Arief yang mengatakan bahwa pembaruan hukum pidana melalui KUHP baru dikonsepsikan mengkodifikasi generic crime saja dengan membiarkan tindak pidana khusus yang bersifat administratif berada di luar KUHP. Untuk melukiskan diferensiasi itu Barda menganalogikannya dengan metafor rumah-rumah kecil dan rumah besar. Rumah-rumah kecil adalah gambaran dari sistem pemidanaan yang berkembang di luar KUHP selama ini yang memiliki pola dan sistem yang jelas, sehingga seringkali menggunakan sistem yang berbeda satu sama lain. KUHP yang lama sudah tidak sanggup lagi menampung perkembangan baru yang mengakibatkan didirikannya rumah-rumah kecil tersebut. Selanjutnya, Barda menyatakan bahwa RKUHP berusaha untuk membereskan sistem pemidanaan yang kacau tersebut dengan membuat rumah yang lebih besar agar yang di luar bisa masuk ke dalam. Yang dimasukkan atau diasupkan itu adalah sistem pemidanaannya, sehingga rumah besar (KUHP) dapat memayungi sistem pemidanaan secara nasional.
Tetapi, dengan melihat RKUHP yang ada sekarang, masih banyak ditemukan tindak pidana administrasi. Setidaknya terdapat 19 ketentuan tindak pidana administrasi. Jumlah itu belum berarti sudah memasukkan seluruh tindak pidana administrasi yang menyebar di berbagai undang-undang khusus. Kodifikasi ketentuan tindak pidana administrasi yang setengah hati itu belum menggambarkan defragmentasi sistem dan konsep tindak pidana di bawah RKUHP. Disamping itu, perbedaan konstruksi filosofis, sosiologis dan yuridis suatu undang-undang khusus tidak bisa serta-merta disamakan atau disimplifikasi ke dalam KUHP.
Bila bersikukuh menyantumkan tindak pidana administrasi ke dalam RKUHP, maka perlu ada upaya sistematisasi konsep antara RKUHP dengan undang-undang khusus. Harus terjembatani antara ide pemidanaan di dalam RKUHP dengan ide administrasi dalam undang-undang khusus, misalnya dengan UU Kehutanan, UU Cagar Budaya, UU Kepailitan dan lainnya
V. Penutup
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pengaturan tindak pidana administrasi di dalam RKUHP antara lain:
1. Pengasupan tindak pidana administrasi melalui RKUHP tidak memasukkan semua tindak pidana administrasi yang sudah menyebar banyak di dalam UU khusus
2. Terdapat beberapa tindak pidana administrasi yang belum/tidak diatur di dalam UU khusus yang dimasukan ke dalam RKUHP seperti Pasal 226 RKUHP
3. Rumusan tindak pidana administasi yang dimasukkan ke dalam RKUHP tidak semuanya dapat diterapkan dengan pilihan sanksi antara sanksi administatif dan sanksi pidana. Hal ini menunjukkan bahwa posisi hukum pidana pada rumusan tindak pidana yang diatur tidak menggunakan asas subsidiaritas atau hukum pidana sebagai ultimum remidium, tetapi hukum pidana sebagai primum remidium.
4. Rumusan tindak pidana administrasi dalam RKUHP masih banyak yang menggunakan delik formil, dalam artian, suatu tindakan dapat dipidana meskipun tidak terbukti menimbulkan akibat aktual atau materil kerugian publik. Melainkan bila terpenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam rumusan yang diatur, tindakan tersebut sudah merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 318 ayat (1), Pasal 319 ayat (1), Pasal 320, Pasal 321 dan seterusnya (lihat Tabel III).
5. Sifat perbuatan melawan hukum tindak pidana administrasi yang tidak mempertimbangkan norma-norma kehidupan kemasyarakatan dapat menjadi masalah atau beban bagi komunitas lokal. Bahkan bisa menjadi instrumen yang mengkriminalkan aktivitas masyarakat, seperti pesta adat, atau budaya buru dan pemanfaatan sumberdaya alam seperti hutan, laut dan lainnya.
Saran
Karena tindak pidana administrasi adalah suatu tema yang belum banyak didalami, maka pengkajian terhadap konsep tindak pidana administrasi perlu dilakukan dengan analisa yang lebih kritis, tidak saja menyangkut upaya kodifikasinya di dalam RKUHP, namun juga melihat konstruksinya sebagai instrumen hukum dalam pengendalian sosial, lingkungan dan sumberdaya alam.

Kata Pengaturan yang dimaksud dalam tulisan ini bukan beranjak dari aturan yang aktual, melainkan pada perumusan aturan. Sedangkan istilah RKUHP digunakan sebagai singkatan dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam tulisan ini sengaja tidak digunakan istilah Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) karena status naskah tersebut belum menjadi RUU yang sedang dibahas di DPR. Frasa yang lebih tepat digunakan seharusnya adalah draft RUU KUHP, namun penggunaan RKUHP lebih singkat untuk mewakili frasa draft RUU KUHP.

Meskipun Wetboek Van Straftrecht voor Netherlandsch Indie dibentuk pada tahun 1915, tetapi mulai berlaku tiga tahun setelah itu, yaitu tanggal 1 Januari 1918.

Pandangan ahli hukum mainstream pada masa itu di Belanda yang mendorong penerapan hukum kolonial secara ekstensif didasarkan pada pandangan bahwa di negara jajahannya Hindia Belanda tidak ada hukum. Dalam pandangan mereka, transplantasi hukum kolonial adalah memasukkan hukum pada ruang sosial yang hampa. Cornelis van Vallenhoven adalah suara sumbang dari pandangan mainstream itu karena menolak pandangan demikian dengan alasan, bahwa para ahli hukum itu menggunakan standard atau kacamata yang salah dalam memandang hukum, yaitu kacamata hukum belanda. Bila kacamata itu diganti dengan menggunakan kacamata hukum pribumi barulah kehadiran hukum pada masyarakat Hindia Belanda bisa terlihat jelas. Sejak pertentangan itulah Cornelis Van Vallehoven dinobatkan sebagai “Bapak Hukum Adat”. Lihat Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 11. lihat juga pidato pengukuhan Guru Besar Soetandyo Wignjosoebroto sebagai Guru Besar tetap di Universitas Airlangga.

Aturan peralihan pasal II UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 itu berbunyi: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini

Lihat Barda Nawawie Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 19-23

Seminar Hukum Nasional yang dimaksud dilaksanakan pada tanggal 11 – 16 Maret 1963 di Jakarta yang terselenggara atas kerjasama Lembaga Hukum Nasional dan Perhimpunan Sarjana hukum Indonesia. Lihat Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003. hlm 20-21

Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Garner, West Publishing, United State of America, 2004, hlm 399

Barda Nawawie Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, bandung, 2003. hlm 15

ibid
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Syafa’at, Teori Hukum Hans Kelsen, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm 50

Pembedaan dua jenis mala/malum atau kejahatan lahir dari diferensiasi dalam hukum alam yang membedakan tindakan yang sudah secara alamiah menjadi kejahatan (mala in se) dan tindakan yang menjadi kejahatan karena sudah dilarang dalam hukum tertulis (mala prohibita). Menurut Hans Kelsen, dalam hukum positif sebagai konsekuensi asas legalitas terutama dalam hukum pidana (nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege) suatu tindakan disebut sebagai kejahatan (a malum) apabila oleh pembuat undang-undang dikategorikan sebagai tindak pidana dengan ancaman sanksi pidana. Sehingga, dalam pendekatan positivisme hukum, pembedaan mala in se dengan mala in prohibita, demikian juga antara kejahatan dengan pelanggaran adalah pembedaan yang tidak legal.

Wicipto Setiadi, Instrumen Pemerintahan, ditulis pada tanggal 30 Agustus 2007. Dikutip dari website: legalitas..org

Ibid

Jimly Asshiddiqie, op cit, hlm 85

Lihat P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus: Kejahatan yang Ditujukan terhadap Hak Miliki dan Lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Tarsito, Bandung, 1995, hlm 14

ibid, hlm 29

Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 10-22

Asas legalitas dalam RKUHP dibahasakan dan Pasal 1 ayat (1) RKUHP yang berbunyi: Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. Sedangkan pembatasan asas legalitas itu dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) RKUHP yang berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pandangan itu terdapat dalam disertasinya Bernard L. Tanya dengan judul Beban Budaya Lokal Menghadapi Regulasi Negara (2000) dan sudah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Hukum dan Ruang Sosial. Mengenai ulasan tulisan Bernard L Tanya tersebut dapat dilihat dalam buku Satjipto Rahardjo, ibid, hlm 49 – 62

Presentasi Barda Nawawie Arief dalam Diskusi Pakar “Studi atas Kejahatan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dalam Berbagai Undang-Undang dan Inisiatif Kodifikasi ke dalam Rancangan Perubahan KUHP”, Hotel Arcadia, Jakarta, 30 Januari 2007. Lihat juga Bernadinus Steni dan Susilaningtyas, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Dalam Berbagai Undang-undang Sektoral dan Upaya Kodifikasinya Ke Dalam RKUHP, Position Paper yang diterbitkan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007

0 komentar: