THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 18 Maret 2011

DELIK FORMIL


a. Tindak pidana terhadap keamanan negara.
RUU ini mengancam 10 tahun penjara bagi mereka yang menyebarkan dan mengembangkan faham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dalam rumusan pasalnya tidak diberikan penafsiran otentik dan juga tidak bersifat limitatif mengenai apa yang dimaksud dengan ''menyebarkan'' dan ''mengembangkan''. Rumusan sangat umum seperti itu sama saja dengan ''pasal-pasal karet'' yang merupakan paradigma KUHPidana warisan kolonial.

b. Penyerangan terhadap presiden dan wakil presiden.
Rumusan pasal mengenai penyerangan terhadap presiden dan wakil presiden ini pun sangat berpotensi mengancam kebebasan pers dan fungsi kontrol media bagi terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sebab kritik yang ditujukan kepada presiden dan wakil presiden yang adalah merupakan pelaksanaan fungsi kontrol pers, dapat disalahtafsirkan sebagai penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Lebih-lebih lagi karena pasal-pasal itu tidak menjelaskan unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi supaya suatu tindakan atau perbuatan dapat dikualifikasi sebagai ''menyerang'' dan ''menghina'' presiden dan wakil presiden.

c. Menghina kekuasaan umum dan lembaga negara.
Pasal mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara ini pun sangat berpotensi mengganggu kebebasan mengeluarkan pikiran dan berpendapat serta berekspresi melalui media. Tidak lain karena apa yang dimaksud dengan ''menghina'' di sini tidak dilengkapi dengan unsur-unsur yang harus dipenuhi, juga tidak bersifat limitatif, sehingga bisa ditarik ke sana-ke mari. Rumusan pasal penghinaan yang sangat elastis seperti itu berbahaya bagi pelaksanaan fungsi dan peranan pers nasional. Sebab dalam UUPers ditegaskan bahwa salah satu peranan pers adalah memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Di samping itu, UU Pers juga mengamanatkan pers melakukan fungsi prevensi. Dalam Penjelasan Umum UU Pers ditandaskan, pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Apabila pers melaksanakan fungsi kontrol dan prevensi supaya tidak terjadi KKN dan penyalahgunaan kekuasaan melalui berita, tulisan, karikatur dan gambar, bukan tidak mungkin ditafsirkan sebagai menghina kekuasaan umum dan lembaga negara

d. Tindak pidana pencemaran nama baik.
Dengan dimuatnya ancaman hukuman pidana berupa pemenjaraan bagi mereka yang melakukan pencemaran nama baik, berarti penyusun RUU KUHP nasional ini masih tetap menganut paradigma kriminalisasi atas karya jurnalistik seperti dianut oleh KUHPidana warisan kolonial Belanda. Padahal di berbagai negara demokrasi di dunia, pencemaran nama baik tidak lagi dikualifikasi sebagai perkara pidana melainkan perkara perdata. RUU ini pun membedakan ancaman hukuman bagi pencemaran yang dilakukan secara lisan dan tulisan. Pencemaran secara lisan diancam hukuman paling lama satu tahun sedangkan kalau dilakukan melalui tulisan (pers) diancam paling lama dua tahun.

e. Pidana Tambahan.
RUU karya anak bangsa ini juga memuat pidana tambahan. Pidana tambahan yang ingin dipersoalkan di sini ialah berupa pencabutan atas hak menjalankan profesi tertentu seperti diatur dalam Pasal 88 ayat (1) RUU KUHP. Mengenai pidana tambahan ini ada hal yang sangat esensial yang perlu diminta penjelasan dari penyusun RUU. Sebab di satu sisi dikatakan bahwa pengenaan pidana tambahan tidak bertujuan mematikan hak-hak perdata seseorang, yang berarti yang bersangkutan kehilangan sama sekali hak-haknya sebagai warga negara yang harus dapat hidup secara wajar dan manusiawi. Tapi di sisi lain pencabutan hak menjalankan suatu profesi sama saja dengan mematikan hak-hak perdata seseorang. Lebih lanjut dalam RUU dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan profesi adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian tertentu serta yang memiliki kode etik tertentu pula. Ini berarti profesi kewartawanan yang juga memiliki kode etik termasuk yang dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak menjalankan profesi sebagai wartawan. Padahal di mana pun pencabutan hak menjalankan profesi adalah sepenuhnya wewenang organisasi profesi bersangkutan, bukan oleh negara melalui pemidanaan.

f. Mengatur norma etik dan soal-soal teknis jurnalistik.
Yang lebih berbahaya lagi, RUU ini mengatur soal-soal etik dan teknis jurnalistik. Sebab Pasal 308 RUU KUHP itu diatur tentang ''berita yang tidak pasti'', ''berita yang berlebihan'' atau ''berita yang tidak lengkap''. Apabila pers memberitakan berita-berita seperti itu dapat dipidana penjara paling lama satu tahun. Padahal mana yang dimaksud ''berita yang tidak pasti'', ''berita yang berlebihan'' dan ''berita yang tidak lengkap'' merupakan urusan kode etik dan standar berita. Tapi dengan diaturnya dalam KUHP soal-soal yang sebenarnya domein etik dan standar berita, jelas sangat membahayakan kemerdekaan pers.
Kita tiba pada kesimpulan masih terlalu banyak yang perlu dikritisi dalam RUU KUHP nasional ini. Dan yang terpenting lagi ialah bahwa penyusun RUU terkesan terlalu berpihak kepada kepentingan penguasa.
Artinya, kepentingan pemerintah menjadi sangat sentral dan karenanya harus dilindungi. Seolah-olah pemerintah bebas dari kesalahan serta kekeliruan, sehingga tidak perlu dikontrol oleh publik. Paradigma menempatkan kepentingan pemerintah yang sangat sentral seperti dianut oleh KUHPidana warisan penjajah dapat dimengerti demi kelanggengan kolonialisasi, namun tidak sesuai lagi dengan paradigma kedaulatan rakyat dan kemerdekaan pers. Oleh karena itu, sebelum RUU ini diajukan ke DPR, perlu dilakukan diskusi serta tukar pikiran bersifat khusus dan intensif antara penyusun RUU dengan komunitas pers nasional.

0 komentar: